Saturday, May 4, 2013

Makalah Hukum Perusahaan


Badan Usaha Milik Negara
Sebuah Perusahaan merupakan tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua factor produksi. Setiap perusahaan ada yang terdaftar dipemerintah dan ada pula yang tidak. Setiap perusahaan yang terdaftar dipemerintah, mereka mempunyai badan usaha untuk perusahaannya.
Setiap badan usaha memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Misalnya, seluruh badan usahayang tergolong BUMN berbeda dengan yang tergolong BUMS, karena BUMN dikelola oleh pihak Negara sedangkan BUMS dikelola oleh pihak swasta .  Kali ini saya mencoba menelaah mengenai PERSERO. Khususnya PT Perusahaan Listrik Negara (PERSERO).
Persero adalah salah satu badan usaha yang dikelola oleh Negara atau daerah.Tujuan didirikannya PERSERO yang pertama adalah mencari keuntungan dan yang kedua memberi pelayanaan kepada umum. Modal pendiriannya berasal sebagian atau seluruhnya dari kekayaaan Negara yang dipisahkan berupa saham-saham.

Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998, maksud dan tujuan pendirian Persero adalah:
a.                  menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat, baik dipasar dalam negeri ataupun internasional
b.                 memupuk keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan    
Tapi pada kenyataannya hingga kini hal itu belum tercapai sama sekali.   
Saat ini peranan perusahaan multinasional pada bidang energi sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan dan penyediaan pelayanan kepada public. Dengan adnaya persaingan di perusahaan penyedia jasa energi seperti minyak dan listrik maka akan terjadi persaingan yang kompetitif, transparan dan menguntungkan konsumen.
Tapi kini yang kita temui diperusahaan “ penerangan raksasa” milik Negara itu, selalu mengalami kerugian.
Sebanyak 10 badan usaha milik Negara mengalami kerugian dalam laporan kinerja keuanagan 2003 dengan total niali Rp 5,13 trilliun. Jumlah kerugian dari 10 BUMN tersebut adalah 84,4 % dari total kerugian BUMN pada 2003.  
Kesepuluh BUMN tersebut adalah PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), PT Pelni, PANN Multi Finance, PT Indofarma, PT Industri Sandang Nusantara, PT Kertas Kraft Aceh, PT Perkebunan Nusantara (PTPN II), PT Inhutani I, dan RSCM. PT PLN lah yang mengalami kerugin terbesar.   
Alasan kenaikan bahan bakar yang mereka gunakan itu, menjadi sebuah alasan yang selalu “dibunyikan” tuk menaikkan tariff dasar  listrik. Belum lagi hal yang terjadi dikalangan “orang-orang beken” di PLN sendiri yang diduga melakukan penyelewengan dana yang telah diperiksa pihak berwajib. Apa sebenarnya yang terjadi di perusahaan listrik milik Negara yang kita cintai ini. Menjadi sebuah tanda tanya besar yang berseliweran dibenak saya.   
Berbagai penyelewengan dana di berbagai perushaan, kini terjadi. PT PLN memang memiliki masalah yang cukup kompleks, mulai dari penyelewengan dana, kenaikan tariff listrik yang terus melambung, akan tetapi pelayanan yang diberikan oleh PT PLN tetap saja kurang memuaskan.  Mulai dari pelayanan jas hingga penyaluran listrik yang belum menjangkau daerah terpencil Indonesia.  
Dimana orang “nomor dua”  di Indonesia memberikan solusi untuk mengganti bahan bakar yang digunakan PLN selama ini. Ada apa dibalik semua ini???  Saat ini memang biaya operasional PT PLN amat  besar. Hal ini terjadi dikarenakan 38 persen sumber energi listrik berbahan bakar minyak, yang  harganya jauh lebih mahl ketimbang gas, apalagi batubara.  
Maka untuk mengatasi pemborosan ini seluruh pembangkit listrik pemakai BBM diganti menggunakan batubara. Akan tetapi hal yang menjadi kendala adalah dari mana dana yang akan diperoleh pemerintah tuk mengatasi pemborosan ini. Apakah harus merayu investor asing yang sudah cukup sulit mempercayai proyek Negara buatan Indonesia.  
Pihak swasta juga tidak mudah dirayu, karena proyek pembangkit listrik swasta (IPP) seperti Paiton saja pemerintah tak bisa diharapkan karena tidak punya uang.  
Pemerintah memang tidak bisa diharapkan dalam pembiayaan ini. Pemerintah tak bisa diharapkan karena sedang tidak punya uang, sedangkan untuk membayar subsidi tambahan PLN sebesar 10 triliun karena batalnya kenaikan tariff dasar listrik saja Departemen keuangan masih meraba-raba kantong. Konon lagi membiayai proyek ini.  
Ditambah lagi upaya privatisasi yang diajukan beberapa kalangan, apakah ini sebuah solusi yang harus  dilakukan demi tercapainya BUMN yang benar-benar bisa menyejahterakan rakyat Indonesia tercinta ini.

Rumusan Masalah
v  Pelayanan  PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)  terhadap masyarakat
v  Kerugian yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
v  Ada apa dengan pemeriksaan Kejaksaan Agung terhadap petinggi Perusahaan Listrik Negara 
v  Privatisasi, pembangkit listrik tenaga batubara apakah sebuah solusi ?

Tujuan Penulisan
Tujuan makalah ini adalah :
1.       Untuk mengetahui secara keseluruhan peranan BUMN (khususnya Perusahaan Listrik Negara) dalam pembangunan ekonomi Indonesia
2.       Untuk memberikan pemahaman kepada pembaca sekaligus mengetahui tentang pentingnya PT Perusahaan Listrik Negara dalam hukum perusahaan
3.       Mengingat peranan  PLN saat in yang tak sebagaiman mestinya lagi, PLN tidak lagi menyejaterakan rakyat tetapi malah merugikan Negara, untuk itu disini penyusun ingin menganalisis hal apa yang mebuat hal ini terjadi
4.       Merupakan  tugas wajib bagi semester IV Fakultas Hukum UNRI dalam  mata kuliah hukum perusahaan .

Daftar Pustaka
  1. Mas’oed Mochtar (1989). Ekonomi dan struktur Politik Orde Baru: 1966-1971. Jakarta
  2. Dianto Bachriadi, Merana Di Tengah Kelimpahan , 1998, Jakarta : Elsam
  3. Tempo, Majalah Berita Mingguan edisi: 17-23 April 2006
  4. WWW.GOOGLE. COM   
  5. WWW.YAHOO.COM  
  6. KOMPAS, Media harian edisi April 2006













Bab II
Isi

    1. Pelayanan  dan kerugian yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN)
Sebagai badan usaha milik Negara (BUMN) yang memonopoli layanan ketenagalistrikan, PT PLN (Persero) dinilai belum mampu memenuhi harapan masyarakat selaku konsumen. Berbgi keluhan sering muncul dari masyarakat, antara lain tariff dasar listrik yang mahal, tegangan yang naik-turun, pemadaman listrik yang selalu tanpa pemberitahuan, dan kesalahan pembacaan standmeter  kalau kita lihat dari kodisi ini kita dapat menyimpulkan bahwa nilai rapor PLN masihmerah”.
 Meski UU No 5/1999 tentang larangan praktik monopoli listrik dan persaingan usaha tidak setelah dikeluarkan layanan listrik masih dipegang PLN. Hal itu Karena pemerintah daerah belum mampu mengelola listrik secara mandiri, seharusnya PLN diuntungkan. Namun kenyataan yang terjadi  PLN selalu melaporkan deficit keuangan.
Menurut Lembaga Perlindungan Konsumen (LP2K), hal ini disebabkan oleh kinerja PLN yang sangat tidak efisien. Misalnya hingga kini belum pernah menggunakan lebih dari 50% kapasitas pembangkit yang telah dibangun. Berdasarkan stastik laporan PLN pada 2000 hanya mengoperasikan 44,29% pembangkit yang ada, sedangkan pada tahun2001 sebesar 47,9%.  Semua ini menimbulkan krugian yang teramat sangat.
Kini PT PLN mencatatkan kerugian paling besar, yaitu 3,5 triliun atau 58,8 % dari total kerugian BUMN. Kerugian yang terjadi saat ini adalah diakibatkan besarnya tariff dasar listrik (TDL) yang belum mencerminkan harga pasar dan melonjaknya harga minyak diesel karena naiknya minyak dunia.
“sekitar   70% pengeluaran PT PLN untuk membeli BBM, dimana 60% diantara BBM itu berupa minyak diesel, “ ungkap Sugiharto Menteri BUMN.
Untuk mnghindari kerugian lebih lanjut, masih menurut Sugiharto, politik ekonomi Indonesia dimasa depan harus berlandaskan sumber daya alam (resource based industry). Antara lain pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, dan perikanan, pariwisata, sumber daya mineral dan energi serta sumber daya manusia.  
Sugiharto juga mengungkapkan bahwa 10 BUMN teratas lainnya berhasil mencatatkan laba dengan jumlah total sebesar Rp 25,61 triliun. Kesepuluh BUMN yang mencatat laba adalah PT Telkom, Bank Mandiri, PT Pertamina, BRI, BNI,PT Pupuk Sriwjaya, PT Jamsostek, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), PT Pelabuhan Indonesia II, dan PT Askes.
Keuntungan yang sangat besr diperoleh Negara, lalu mengapa perusahaan listrik kita I ini sampai mengalami kerugian besar, sementara yang lain bisa menguntungkan .  

2. Kejaksaan   Agung segera tetapkan Tersangka Kasus PLN
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji mengakui pihaknya sudah “mengantongi” nama-nama tersangka kasus dugaan korupsi pemberian dana tantiem di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Namun, Jampidsus belum bersedia menyebutkan nama-namanya. “saya hany melihat disitu ada perbuatan, dan perbuatan tersebut bisa dihukum,” ujar Jampidsus.
Kasus dugaan korupsi dana tantiem ini bermual dari laporan serikat pekerja PT PLN yang mempertenyakan pemberian bonus atau tantiem kepada  para direksi dan komisaris PT PLN ditahun 2003 sebesar Rp 4,3 miliar. Padahal ditauhn itu pln mengalami kerugian sebesar rp 3 trilliun.
Bonus sesuai dengan uu no 1 tahun 1995
Tentang perseroan terbattas, bonus atau tantiem hanya bisa diberikan saat perusahaaan memperoleh laba atau keuntungan.  sejauh ini sudah ada beberapa pejabat pt pln yang diperiksa, antara lain direktur utama pt pln eddie idiono dan deputi menteri Negara kala itu Roes aryawijaya yang juga menjabat sebagi kuasa pemegang saham pemerintah pt pln.  
Roes mengakui dirinyalah yang mengeluarkan kebijakan pemberian dana tantiem itu karena jajaran direksi dan komisaris PT PLN mampu menekan laba usaha dari minus Rp 8 triliun menjadi sekitar Rp 3 triliun. Dana tantiem itu, dikatakannya, diberikan kepada para direksi dan komisaris sebesar Rp 4,5 miliar termasuk kepada karyawan PT PLN sebesar Rp 234 miliar.
Selain itu, Menteri Perindustrian Andung Nitimihardja yang juga menjabat sebagai Komisaris Utama PT PLN Mengaku pernah menerima dana tantiem PT PLNsebesar Rp 200 juta. Redupnya kinerja Listrik Negara PLN  dirundung tunggakan kepada produsen kabel. Akibat lemahnya manajemen dan saratnya beban membeli listrik dari swasta.USIA sudah lebih dari setengah abad, bagi Perusahaan Listrik Negara (PLN), ternyata belum jaminan mampu memancarkan sinar terang. Jangankan membagi untung kepada rekanan, perusahaan penghasil setrum milik pemerintah ini bahkan disebut-sebut menunggak pembayaran kepada 17 produsen kabel hingga senilai Rp 1,2 trilyun. Tak hanya itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memberi nilai tidak sehat. Terhadap kinerja PLN.  
Penilaian itu bukan tanpa dasar. Hasil audit BPKP mengungkap bahwa badan
usaha milik negara (BUMN) binaan Departemen Pertambangan dan Energi ini
menghadapi masalah likuiditas. Alias disangsikan kemampuannya membayar
kewajiban jangka pendek, termasuk utang jangka panjang yang telah jatuh
tempo.   
Di lain pihak, kemampuan PLN dalam meraup laba juga mengkhawatirkan. Ditahun
1996, biaya pinjaman diperkirakan mencapai Rp 2,427 trilyun. Padahal
pada tahun yang sama, laba operasi direncanakan hanya sekitar Rp 2,901
trilyun. Kepala BPKP Sudarjono menilai, pangkal kesulitan yang dihadapi PLN
adalah kesalahan dalam memperhitungkan jadwal pembayaran kewajibannya. .  Anehnya, penilaian BPKP itu ternyata berbeda dengan Pefindo. Perusahaan pemeringkat swasta ini menilai, PLN justru mendapat angka A minus. Artinya, dinilai memiliki kemampuan untuk membayar kewajibannya.   
Perbedaan penilaian itu tentu membingungkan. Buntutnya, angka Pefindo pun
dipertanyakan. "Pefindo tengah melakukan penilaian ulang," ujar Urip
Suprodjo, Direktur Rating Perusahaan PT Pefindo. Dia menolak menjelaskan, apakah yang diberikan ke PLN  akan lebih rendah dari A minus. Runyamnya kondisi keuangan PLN ternyata tak hanya mempengaruhi kinerja
perusahaan itu sendiri. Perusahaan-perusahaan pemasok peralatan listrik juga
ikut limbung akibat adanya penundaan pembayaran. Selain itu, order yang
diberikan juga makin seret. Pada 1995 lalu jumlah order tak sampai 50% dari
tahun sebelumnya. Akibatnya cukup mencemaskan, 17
perusahaan pemasok kabel itu sulit mendapat kredit baru dari bank. Keadaan itu bukan tak disadari PLN. Namun,
ditambahkannya, bukan tak mungkin keterlambatan itu disebabkan oleh
kecerobohan pemasok. Misalnya, karena ketidaklengkapan dokumen-dokumen
perusahaan rekanan. Djiteng memperkirakan, masalah ini timbul sejak diberlakukannya sistem desentralisasi di PLN pada 1994 lalu. "Mungkin ada pegawai PLN yang terlalu
bersemangat melakukan pembelian sehingga barang-barang itu malah menumpuk di
gudang," ujarnya. Sejak daerah distribusi diberi kewenangan melakukan
pembelian, Djiteng menilai telah terjadi pembelian di luar kendali. "Bahkan
ada yang belum memperoleh surat kuasa investasi tapi sudah berani membuat
kontrak," katanya menambahkan. Karenanya, ia bermaksud melakukan koreksi
terhadap sistem yang baru berjalan setahun itu.  

3.     Privatisasi, pembangkit listrik tenaga baru apakah sebuah solusi  
Pengamat Ekonomi Unlam,. Syahrituah Siregar SE MM, mengatakan rencana merger 54 BUMN menjadi sekitar 21 BUMN oleh Meneg BUMN, Sugiharto, dinilai sebagai langkah yang tepat.
Langkah merger itu dinilainya lebih baik dari privatisasi yang dilakukan Meneg BUMN pada masa lalu, Laksamana Sukardi. Pasalnya, jika semua BUMN diprivatisasi, maka asset public berkurang atau bahkan habis.   
Dengan adanya merger, kinerja BUMN bisa menjadi lebih efektif. Selain mengirangi biaya operasional yang berarti terjadi penghematan, merger itu mengurangi KKN, penyimpangan, tekanan politis dan masalah-masalah lain yang bisa mengekang kinerja BUMN.
Merger tidak menghilangkan sifat yang melekat pada BUMN yaitu sebagai pengawal kepentingan public. Jika semua BUMN diprivatisasi, yang terjadi adalah kapitalisme, karena hanya mengeruk keuntungan saja.  
Tetapi, ada satu masalah yang nantinya akan cukup mengganggu kinerja BUMN yang telah dimerger itu, yaitu adanya kesulitan membuat struktur organisasi.  Karena dengan adanya merger, ada beberapa pejabat yang akan kehilangan jabatannya. Pejabat BUMN yang selam ini telah duduk di level eselon jelas akan terganggu privatisasinya. Sehingga, masalah ini perlu mendapat perhatian yang serius.  
Dalm hal ini yang perlu digaris bawahi adalah pada kenyataannya kinerja BUMN selama ini belum professional. Para pejabat BUMN masih menganggap bahwa BUMN merupakan pabrik pemerintah sehingga tidak ada rasa memiliki seperti halnya pemilik perusahaan swasta.      

  

No comments:

Post a Comment