Thursday, December 10, 2015

Pekanbaru-Bogor-The Highland Park Resort



Indian Camp
Ini ntah sudah kali keberapa aku mengunjungi Bogor, namun kali ini cukup berbeda. Menikmati Bogor dari sebuah resort yang cukup unik, menyejukkan, damai, kamar yang sangat unik, dan fasilitas yang mengagumkan. Yang mau liburan, bahkan honeymoon murah meriah dekat namun berkesan bisa kesini nih. Bahkan saat posting foto, banyak yang nanya aku lagi di Negara mana. Hellow Indonesia itu indah lo, aku di negara kita Indonesa kalau kata orang Sunda mah, yuk simak review aku ya. 

Bersyukur tiket tak terlalu pagi, thanks God terimakasih Komisi Yudisial kasih Garuda yang terbangnya jam 10. Rabu pagi (11/11) di jemput Predi aku menuju bandara, dengan Bang Darwin. Terimakasih ya Pred. 

Ini sebenarnya bukan agenda vacation, tapi acara capacity building kantor. Sampai di Jakarta kami menunggu rombongan lain yang berada dari 11 propinsi lainnya. Kami akan berada di satu Bus yang sama, jadi harus tunggu-tungguan. Yang kasian itu rombongan yang berasal dari Timur, Kupang pesawatnya sangat pagi, jadi harus menunggu juga rombongan yang terakhir tiba. Beginilah kalau rombongan, semua harus serba kebersamaan.

Nah tipsnya nih yee kalau berangkat berombongan dengan hemat en murah:
  1. Bawa air, karena panitia belum tentu menyiapkan air sesuai kebutuhan kalian, dan kali ini aku lupa membawanya. 
  2. Bawa makanan untuk mengganjal perut sapa tahu kita adalah rombongan pertama tiba harus nunggu rombongan the last
  3. siapkan stamina tidur yang cukup, agar menuju lokasi yang bisa jadi jauh kita tak hanya menghabiskan waktu dengan tidur. Sayangkan tak menikmati suasana.
Akhirnya semua tiba dan kami berangkat. Jika kami tidak dijemput bisa menggunakan Damri menuju Bogor dan nanti turun di stasiun ongkosnya limapuluh ribuan gitu deh. 

Highland PArk Resort Bogor adanya di jl. Curug Nangka Kampung Sinarwangi. Perjalanan Jakarta-Bogor terasa sangat lama, sudah sampai Bogor juga jauh sekali. Semua rombongan pada ngedumel ditambah macet dan jalan Bogor yang kecil dan sempit pul macet. Ampun deh. 

Sekitar 3 jam lebih dan kita sampai di lokasi. Sampai sudah snagat sore, dan luar biasa pemandangan yang begitu indah. Rombongan cewek menginap di Indian Camp yang letaknya di ujung, untuk menuju kesana kita menggunakan car golf, atau mobil terbuka. 

Menuju kamar kami Indian kami melalu, Lapangan golf, lalu kolam renang, dan Mongolian camp, kebun bunga, dan ranch kuda. 
Suasana kamar with roommate







Dikamar begitu unik, dengan nuansa Indian seluruh ruangan dilapis kain berwarna coklat, semua furniture serba indian dan sebuah kamar mandi kecil. Kita bisa menikmati suasana langsung dibawah Gunung Salak, menikmati sunrise dan sunset dengan suasana dingin. Wahana bermain air, lapangan futsal juga tersedia. 

Bentuk kubah camp Indian
Bagi saya ini penginapan yang recomended, harganya sih sekitar 1,6 juta/night tuk room standar. Tapi sebanding deh dengan fasilitas, kalau ramai yah ga begitu terasa. Hanya kekurangannya air panas yang kadang panas dan kadang tidak dan makanan yang kurang begitu enak dilidah untuk makan siang dan malam. 

Saat berada disana sangat banyak yang melakukan kegiatan dari berbagai instansi swasta maupun pemerintah. Ruangan saat pemberian materi juga ada disana, dan cukup nyaman. Dihari akhir acara outbond dilaksanakan yang dipimpin tim pihak resort. 


Dan bagi yang ingin menginap dan hemat persediaan makanan harus dipoolin soalnya jauh dari mana-mana. Selamat berlibur.



Wahana bermain air foto by Martindo



Bang Bambang Irawan, dari dining room kita  bisa langsung melihat ke kolam renang
foto by BI



Ruang rapat foto by Martindo

Wednesday, December 9, 2015

Korban Meninggal Akibat Asap Karena Kebakaran Hutan Dan Lahan di Riau


Jerebu Pengintai Maut

Korban yang meninggal akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau

Asap pagi ini sangat pekat, langit menguning, mataku tak bisa terbuka. Dua kali kuhentikan sepeda motor untuk menyeka air mata yang terus menetes, aku hanya bisa memandang 5 meter kedepan. Kuperlambat laju sepeda motor, hanya 10km/jam, masker N95 yang kupakai masih terasa tembus oleh asap. Seisi ruangan kantor menguning.  Kondisi Riau yang diselimuti asap ini akibat kebakaran hutan selama 18 tahun terakhir yang tak kunjung teratasi.

Oleh Yofika Pratiwi Saragih

Dua minggu mengungsi ke hotel, asap telah mengisi segala penjuru masuk keseluruh celah rumah. Masih saja tenggorokan terasa sakit, bernafas susah, akhirnya kuputuskan ke dokter. September (30) Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pekanbaru Propinsi Riau berwarna hitam berada di level berbahaya yakni diangka 500 selama dua mingggu terakhir. “ Harus istirahat dua hari, kurangi aktivitas,”jelas dokter saatku berobat di Klinik Husada jl. Adi Sucipto Pekanbaru.


ISPU menunjukkan kondisi udara di PEkanbaru berbahaya
Medio Oktober (20/10) kondisi Bumi lancang kuning tak jua berubah, sudah lima hari Bandar Udara Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru ditutup jarak pandang hanya 100m, konsentrasi partikulat PM10 di Pekanbaru 533 artinya berbahaya. Kondisi udara sempat berubah saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke Riau dan menyambangi Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (9/10). Kondisi udara turun ke level tidak sehat namun, asap kembali menggila. Pagi hari (19/10) menuju kantor yang berjarak 2km dari rumah, asap pagi ini sangat pekat, langit menguning, mataku tak bisa terbuka. Dua kali kuhentikan sepeda motor untuk menyeka air mata yang terus menetes, aku hanya bisa memandang 5 meter kedepan. Kuperlambat laju sepeda motor, hanya 10km/jam, masker N95 yang kupakai masih terasa tembus oleh asap. Seisi ruangan kantor menguning.  Sesak tenggorokan kembali kurasakan padahal waktu bangun baik baik saja. Kuputuskan membeli okseigen setelah menghirup oksigen murni beberapa menit, baru terasa lega. Akhirnya kuputuskan melakukan pendataan saja di Kantor.

Akibat asap sudah empat. orang meninggal dalam 3 bulan terakhir akibat terpapar asap, Muhanum Anggriawati (12th), Muhammad Iqbal (31th), bayi N (1,8bulan) dan Ramadhani Lutfi Aerli (9). Paparan asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau memang bukan menjadi penyebab utama kematian di Pekanbaru. Namun asap memperparah kesehatan masyarakat yang memiliki penyakit bawaan dan memperburuk kesehatan yang dalam kondisi fit. “ Dalam tiga bulan mulai Juli kasus Ispa (Infeksi saluran pernafasan atas)  ga ada yang dirawat inap. Tetapi sakit Asma dan penyakit lain yang dipicu asap meningkat, Agustus 20 %, September 40 %. Yang paling terberat ada dua kasus yang pertama Bapak I berumur 31 tahun  asma yang yang dipicu asap dan anak N memiliki riwayat pneumonia,”ujar dr. Rumatha Veralisa   (Humas RS. Awal Bross cab. Panam, Pekanbaru).


Lahan terbakar di Pelalawan, Riau pada tahun 2013



Riau diselimuti asap ini akibat kebakaran hutan selama 18 tahun terakhir yang tak kunjung teratasi. Koalisi Penyelamat Sumber Daya Alam (PSDA) Riau dan data hotspot Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) Januari-Agustus tahun ini total 5.869 titik api di lahan HTI, sawit dan hutan lindung dan lahan gambut.  Dari 5.860 hotspot 4057 di gambut.




***
Di rumah berukuran enam meter kali enam meter saya menjumpai Musriati Lubis (32tahun). Ia menggendong anak perempuannya, menaikkannya ke odong-odong permainan anak yang lewat di depan rumah. Lalu pagi itu (17/10) kami berbincang duduk di tikar bersama Muhklis sang suami. Ia ibu Muhanum Anggriawati, salah satu korban yang meninggal akibat paparan asap.
Jumat akhir Agustus Hanum pulang sekolah, dari jendela rumah ia melongok “Mak hangat badan kakakni,”ujarnya dengan logat Melayu. “Ia nak, masuklah nak, masuklah nanti minum obat biar lega,” jawab sang ibu.

Menurut perempuan Mandailing ini anaknya tak memiliki riwayat penyakit. Hanum lahir dengan kondisi normal beratnya 3,3kg. Lahir langsung ia susui dan Hanum muntah. Agak khawatir dengan kondisi ini Ia membawanya ke dokter. “Biasa tu bu, ada anak yang habis menyusu muntah, itu kata dokter,”jelasnya. Tak kunjung sembuh muntah, ia kembali membawa anak pertamanya ke RS Ibnu Sina karena berat badannya tak jua bertambah. “Dua hari, kami disuruh pulang, hasil lab darah dan semuanya baik, dia normal dan sehat. Itu penjelasan rumah sakit, “terangnya lagi.

Foto Hanum saat masih kecil
Sejak lahir 25 Agustus 2003 tumbuh kembang Hanum normal, namun ia tak memiliki nafsu makan yang kuat sehingga tubuhnya kecil dari anak lainnya. “Kadang capek kesana kemari tapi ga ada hasilnya, umur 5 tahun kami rontgen hasilnya semua baik. Dia sehat dan Hanum harus sekolah, ada yang bilang gini, ga apa tu nanti kalau udah besar badannya kembali,”ujar Musriati. Kakak dari dua orang adik ini pun bersekolah di SDN 171 Tenayan Raya, Pekanbaru, dan ia tak pernah sakit lagi, hanya demam biasa saja sesekali. “Waktu asap tahun lalu dia batuk, diasap dua kali sama Bidan sembuh (pemberian asap untuk membantu pernafasan, red), jelasnya.

Demamnya reda, tapi malam hari ia kembali demam. Pagi hari dia memaksa bersekolah, ia minta rambutnya sisir Ayahnya, itu kebiasaan Hanum. Lebih rapi katanya,  namun dilarang untuk berangkat sekolah. “Ga usah sekolah ya sayang, biar Mamak permisi kan,” ujar Musriati.

Malam hari dia berdehem batuk sesekali. Minggu (30/08) batuk hanum sekamin parah. “Hukkkhukkhukk,” suara batuk Hanum menyambung. “Kenapa nak?,”tanya Sang ibu. “Ga tahu mak, tepuk kakak Mak (meminta punggungnya ditepuk,red), bantu kakak Mak,” kata Hanum panik.
“Bang bawalah dia ke Bidan biar diasap,” pintanya ke suami. Saat diperiksa Bidan tak menyarankan untuk dilakukan pengasapan karena masih batuk biasa. Dan Hanum diberikan obat untuk dimakan saja.
Setelah itu dia bernafas seperti biasa, siang hari Hanum bernafas normal seperti biasanya. Malam hari kondisi Hanum memburuk. “Batuknya duakali hukkhukk kayak orang tersedak dan sambung-menyambung, berjejer sesak gitu. Dia minta jendela dibuka. “Buka lah mak, katanya. Ga boleh nak asap,” jelas sang ibu. Asap Pekanbaru yang pekat membuat masyarakat harus menutup seluruh lubang udara di rumah dan hanya mengandalkan alat pendingin ruangan. “Kami hanya memakai kipas angin, satu di dalam, satu diarahkan keluar untuk mengusir asap,”jelas Mukhlis.

Kondisi udara diakhir Agustus memang semakin parah kebakaran lahan menyebabkan asap yang tak kunjung berhenti. Budaya membakar lahan sudah menjadi tradisi di Riau. Tahun 2007 saya melakukan liputan ke Kampar Kiri Riau,  soal kebakaran lahan Riau. Menurut Ninik Mamak (Ketua Adat, red) budaya membakar dilakukan sejak dulu untuk membuka lahan. Menebang semua pohon  lalu menumpuknya di tepi lahan. Ini dilakukan agar api tidak menyebar ke lahan orang lain dan pembakaran ditunggu hingga lahan bersih dan api padam. Timbunan pepohonan hasil tebangan sebagai pembatas agar api tidak menyebar, itu sangat ampuh. Dan lahan yang dibakar juga tidaklah luas.

Namun kini pembakaran lahan dan hutan dilakukan serampangan dengan jumlah area yang cukup luas ditambah lagi dilahan gambut. Pada persidangan kebakaran lahan PT Adei Plantation di PN Pelalawan 14 April tahun lalu Prof. Bambang Rahardjo (Dekan Fak. Kehutanan IPB) dalam persidangan menjelaskan “Perusahaan sengaja membakar lahan dilakukan agar menaikkan PH tanah menjadi subur, lahan gambut tidak baik untuk ditanam, harus dipupuk. Biaya pemupukan 1ha sekitar 40juta. Dengan membakar tanah menjadi subur murah,” jelasnya. Alasan inilah penyebab maraknya kebakaran hutan dan lahan di Riau. Selain korporasi adapula perambah. Sejauh ini Polda Riau bahkan sudah menetapkan 67 tersangka, 63 perorangan dan 4 korporasi, 27 perkara yang sudah akan masuk tahap persidangan, 28 perkara tahap penyidikan, 16 tahap 1 dan total jumlah lahan yang terbakar di Riau seluas 5. 906.

“Ini kegagalan pemerintah dan gambaran buruk tata kelola perizinan dan sumber daya alam. Kita sudah melakukan gugatan  dan membuka posko bersama Walhi, Jikalahari. Lembaga Adat Melayu Riau, dan koalisi masyarakat sipil lainnya, minggu ini kita masukkan notifikasi untuk gugatan Citizen Lawsuit. Antusiasme masyarakat untuk melakukan gugatan besar mengambil formulir namun dalam pengembalian kurang. Kami harapkan masyarakat tidak hanya mengeluh di media social  tapi ikut ambil bagian dalam upaya hokum,” ujar Boy Even Sembiring (Walhi Riau)
***
Malam jelang dibawa ke rumah sakit, Hanum sangat rewel. Dia minta digendong, jam 12 malam ia diminta dilakukan pengasapan. Karena sudah dini hari, Ibunya tak bisa menurutinya, dengan kain basah ia menyeka wajah anaknya agar tak terlalu sesak.  Bangun pagi hari, “Mak kakak lihat banyak orang pakai jilbab kuning ke rumah kita. Hari ini kakak mau dijalin tinggi rambutnya kayak Elif (aktris cilik film Turki,red) yah Mak,”pintanya. Musriati heran namun, menuruti saja karena biasa Hanum selalu meminta Ayahnya yang mengikatkan rambutnya.  

Hari itu Hanum berpakaian rapi, Rabu pagi (02/09) ia bersama adik bungsu dan orang tuanya menuju RSU Arifin Achmad Pekanbaru. “Kakak kenapa pakai sepatu tinggi, ga usahlah nak,” tanya ibunya. “Biarlah mak, ga suka kakak kelihatan sakit, biar kelihatan cantik,” jelasnya.

Ibunda Hanum menangis mengenang anaknya. 
Sampai di rumah sakit ia tak langsung menuju ruang pemeriksaan. “Kami berkeliling keliling, dia minta katanya enak juga ya Mak jalan disini,” katanya. Didepan ruang Unit Gawat Darurat Hanum mundur. “Takut Hanum mak, gendong, cium Hanum Mak” katanya seperti anak kecil merengek. “Ga apa apa nak ada mamak,”napa kakak gitu suaranya kayak anak kecil, jangan gitu bikin Mamak takut” ujar sang ibu heran.

Masuk ke UGD Hanum duduk dan langsung dipasang alat kemulutnya untuk dilakukan pengasapan. “Lepas Mak, lepas Tante , lepas Om,” ujar Hanum. “Ga apa do nak, kata saya mungkin dia takut karena alatnya besar jauh besar dari yang dibidan. Posisinya juga ga bisa diubah ubah kayak di bidan.
 Tapi alat tak juga dilepas, Hanum terus menangis. “Langsung saya lepas aja,” terang Musriati. “Mak kakak udah ga disini lagi mak, minta maaf kakak Mak, nampak ga kakak?” tanya hanum. “Kakak kok ngomong gitu kakak. Jangan ngomong gitulah mama takut, nampak nak ini kan mamak pegang mamak cium malah,” ujar sang ibu berurai airmata mengenang kepergian anaknya. “Ga mak percayalah sama kakak,” ujarnya.

Samar tak terdengar lagi suara Hanum, itulah terakhir ucapan Hanum. Ia dinyatakan gagal nafas dan dimasukkan ke Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Tak jua sadar hingga 10 September Hanum meninggal dunia.

Tak hanya kesedihan atas kepergian anaknya, Musriati juga sedih karena rumor yang menyebutkan berbagai jenis penyakit anaknya. “Saya kecewa, di media, di tv swasta nasional Kepala Dinas menyebutkan anak saya sakit menigitislah, apalah ngeri, padahal hingga meninggal hanya sakit gagal nafas,” jelasnya menangis. Dokter tidak melakukan cek darah dan CT Scan terhadap Hanum dikarenakan kondisinya yang tidka memungkinkan karena dipasang berbagai alat bantu menurut sang ibu.

“Kalau memang anak saya sakit yang lain-lain, ga mungkin saya biarkan. Nayawapun jadi taruhan untuk anak,” ujarnya menangis. Kini tak adalagi yang akan mendamaikannya kala ia bertengkar dengan sang Suami, menjadi pengingat agar ia selalu sabar. “Rumah damai kalau ada dia, paling pandai mengambil hati orangtua,” ujar Musriati tak henti menangis selama berbincang dengan saya. 
Tak hanya itu yang membuat Musriati bersedih, keramahan pihak Rumah Sakit tak di temuinya. “Orang di rumah sakit itu bilang saya kayak orang gila, gimana ga gila rasanya, saya cemas anak yang sakit aja meninggal kita ga siap. Apalagi anak yang sehat,” kenangnya berurai air mata. Rumah sakit pun menyuruhnya menandatangani surat kematian Hanum. “Silahkan ibu tangani, sudha tahu kan anak ibu sakit apa, gagal nafas. Tanda tangani disini,” itulah penjelasan mereka menurut Musriati. Hanya itu yang ia tahu tentang penyakit anaknya.

Namun mereka telah mengikhlaskan buah hati mereka. “Saya sudah ikhlas, mau mengugat pun kasihan anak yang ada di kubur diungkit kembali,” ujar Ayah Hanum. Sepeninggal Hanum ada rasa khawatir menyerang karena asap tak kunjung reda. “Kalau anak saya yang dua ini sakit, langsung rasanya saya takut kenapa, khawatir sekali,” ujar Musriati yang masih trauma meninggalnya Hanum. Ia sangat berharap agar pemerintah daerah segera menganggulangi asap, “Ketika sudah tahu kebakaran cepat di tanggulangi, biar tidak ada Hanum berikutnya, cukuplah dia yang terakhir.

Simpati mengalir deras dari berbagai media, masyarakat, dan kerabat karena Hanum merupakan korban meninggal akibat asap yang pertama. Kunjungan dari Gubernur Riau dna bantuan dari pemerintah daerah pun diberikan kepada keluarga ini.
***
Saya pun menjumpai Dokter Spesialis Paru untuk bertanya soal dampak asap, Jumat sore (16/09) di ruang prakteknya RS Awal Bross Cab. Panam. “Kalau yang meninggal detailnya saya tidak tahu karena tidka menangani, Cuma biasa kalau semata mata karena asap biasa tidak sampai meninggal. Tapi bisa jadi karena daya tahan tubuh rendah, akibatnya jadi gagal nafas dan meninggal,” jelas dr. Samsul Afandi SpP (Spesialis Paru RS. Awal Bross Panam).

Ia menyarankan agar masyarakat mengurangi aktifitas diluar ruangan, makan makanan bergizi, minum vitamin, kalau memiliki riwayat penyakit Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), asma, TBC yang sangat rentan dapat keluar daerah.

Berdasarkan data dari UNICEF anak anak lebih rentan terkena dampak kesehatan dari asap. Mereka menghirup lebih banyak udara per kilo berat badan mereka dari orang dewasa. Semua anak di daerah terdampak asap butuh perhatian khusus.  Untuk itu anak seharusnya:
·         Anak anak sebaiknya berada di dalam ruangan.
·         Anak anak harus menggunakan masker
·         Cuci tangan teratur, agar tidak mengkonsumsi makanan saat tangan berdebu
·         Batasi polusi udara seperti asap rokok dan lilin
·         PAntau kesehatan fisik anak, jika sakit segera langsung ke Rumah Sakit.
·         Jaga kondisi psikologis anak, ajak anak bicara, tenang lakukan rutinitas seperti biasa.

Anak anak memang menjadi korban yang sangat akibat dampak asap. Berbeda dengan Hanum yang dapat dilihat gejalanya, Ramadhani Luthfi Aerli (9th) meninggal tanpa tanda meninggal akibat asap.
Luthfi adalah anak yang pintar beberapa kali dia juara dalam lomba, lomba adzan dan hafiz Alquran. Malam ini (27/10) saya menuju rumah Lutfi, Jl. Pangeran Hidayat tepat di tujuh hari kepergiannya keluarga melakukan pengajian. Sekitar 20 orang kaum Bapak memenuhi jalan di depan rumahnya. Didalam rumah sudah dipenuhi kaum ibu, kamipun berbincang diluar.  Rumah itu tampak sederhana dengan lebar kurang lebih 8 meter. Tanpa teras, daerah Pangeran Hidayat merupakan daerah padat penduduk. Rintik hujan sedari sore tak berhenti, Ayah Luthfi mengisahkan kenangan sehari yang merenggut nyawa anaknya.

Pagi (19/10) Luthfi bersekolah seperti biasanya, di kelas ia berlomba menjawab pertanyaan guru pelajaran Matematika tentang perkalian. Murid di Madrasah Ibtidaiyah Negeri 1 Pekanbaru dipulangkan karena kondisi udara yang buruk. “Jam 12 Luthfi udah di rumah semua sehat sehat aja,”juar Eri Wiria (46th) Ayah Luthfi.
Foto Lutfi yang dijadikan poster demo asap oleh tetangganya

Langit yang menguning sedari pagi karena pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan dna lahan menguning. “Pa, Ufi mau main keluar ya,” pinta Lutfi usai Magrib. “Jangan, ga lihat asap tadi parahkan kalau malam turun tu kabutnya,” larang Papanya.
Uring-uringan dia ngotot minta keluar rumah.

“Ya sudah kalau Ufi bisa jawab 10 pertanyaan Papa soal kali-kali (hitungan perkalian) boleh keluar salah satu, boleh bonus pertanyaan satu,” tantang Eri.

Luthfi pun meladeni tantangan Papanya demi dapat bermain keluar rumah. Namun ia hanya dapat menjawab dua pertanyaan. Jadilah ia hanya boleh bermain di dalam rumah. Tak henti merengek minta keluar rumah hingga akhirnya tertidur malam itu.

Asap semakin parah sekolah diliburkan, Luthfi bangun jam 10 pagi karena libur. Lalu ia bermain bersama adiknya, sesekali berebut komputer. Dilarang bermain keluar rumah dia hanya bisa bermain di rumah.

“Bun kepala Ufi pusing, badan agak deman belikan obat ya,” pinta Lutfi ke  Lili wirmaria (33th ). Bunda pun membelikannya obat demam yang lain dari biasa Luthfi minum. Usai makan diminumnya obat sirup, langsung tidur.

Tak biasa Lutfi meminta pada bundanya untuk dibelikan nasi goreng dengan rasa pedas. “Tak biasanya dia mau makan pedas, lalu dia makan ama adeknya. Saya memijat teman yang datang ada mau pijat,” terang Eri.

Yasinan tujuh hari Lutfi ,Ayahnya menunjukkan hasil rontgen
Pukul 10:30 malam saat sang Bunda menelepon ke rumah, Eri pun bertanya pada Lutfi namun tak menjawab dari kamar. “Saya berdiri melihat kekamar dia sudah pegang pinggiran tempat tidur muntahnya sudah beserak,” terang Eri.

Ia pun bersihkan dan mengganti Lutfi, taka da rasa curiga karena Luthfi tak pernah sakit. Tak terbayang olehnya soal asap yang mengganggu kesehatan anaknya. Karena taka da sama sekali batuk dan sesak yang dirasakan Luthfi semua biasa saja, bersekolah, makan, bermain seperti biasa.
Lili pulang ke rumah usai berjualan di cek nya Luthfi ternyata kencing di celana. Digantinya celana Luthfi. Usai diganti Luthfi memeluk sang ayah dan menciumi sang Ayah. “Napa Luthfi bang, mengigau dia,” heran sang Bunda.

Usai Luthfi tenang tertidur mereka makan malam di dapur, tiba tiba Lutfi merangkak, dan muntah. “Luthfi napa nak, ngapa ga panggil papa kata saya. Itu muntahnya air aja, dan dia buang air besar,kami bersihkan dan khawatir dia buang air besar,” jelas sang Ayah. Ia menghubungi Ibunya dan adiknya untuk menjaga anak bungsu mereka.

Lutfi dilarikan ke rumah sakit Pukul 01:00 Wib. Dia sempat menolak tidak mau pergi, akhirnya dipaksa naik ke sepedamotor. “Tolong angkat Luthfi,” pinta Eri kepada satpan RS. Santa Maria Pekanbaru yang merupakan kenalannya. Saat itu Luthfi sedikit kejang dan langsung dilarikan ke UGD.
“Ini harus dirawat secara intensif Pak,”pinta pihak RS Santa Maria.
“Ya lakukan aja ,” jawab Eri.

Anak sulungnya itu pun dimasukkan ke PICU, sebelumnya dilakukan pemeriksaan darah scan dan rontgen. “Saya ga tahan melihat semua alat dipakai di tubuhnya, dia hanya panggi Ibun, ibun saat di UGD setelah itu dia sudah tak sadar” cerita sang Ayah.

Dua jam monitor jantung tak stabil, dokter mengusahakan segala cara, memompa jantungnya “Semua dilakukan dokter, usai adzan Subuh dia meninggal,” ujer Eri.Kesedihan menyelimuti Eri, “Dokter menjelaskan ada gumpalan gumpalan awan di paru paru anak saya dan penipisan oksigen di jantung.”
Anaknya sudah tiada, dia harus melunasi tagihan sejumlah RP 4.359.000,00. “Saya hanya bawa duit 2juta, saya disuruh melunasi dalam waktu tiga hari. Saya tak ada duit, hari keempat saya kesana ternyata sisanya sudah didiskon Rumah Sakit, hutang saya lunas,” terangnya.

Kepergian anaknya tampak sudah mereka ikhlaskan, tak ada airmata yang tampak diwajah keduanya. “ Kita sudah ikhlas mengiklaskan, orang lebih parah dari kita ujiannya. Sampai sinilah janjiannya dengan Tuhan. Tidak ikut menggugat Pemerintah hanya menambah pekerjaan saja nanti. Cuma teman teman ada ikut demo meminta izin kami membawa foto Luthfi,”jelas Eri dan Lili saling menimpali. Hingga kini tak ada bantuan dari pemerintah yang mengalir. Hanya ada satu bantuan pribadi dari Pejabat di Pemda secara pribadi menurut Eri.

“Harapan kami jangan lagi terulang, cukup Luthfi yang terakhir,” pesan Lili Bunda Luthfi.
Harapan dua orang ibu agar pekatnya asap tak merenggut nyawa anak lainnya. Udara yang kian berbahaya, anak anak yang selalu ingin bermain, orang dewasa yang harus bekerja di luar rumah pasti akan terus terpapar asap. Tahun ini sudah tiga bulan Asap tak mereda, hutan terus terbakar. Sudah 18 tahun terus berulang, ntah sampai kapan berhenti.