Kepailitan
Perbankan
- LATAR BELAKANG
Kepailitan
bagi bank terdapat dalam pasal 9 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
perbankan, “Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan
pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib
dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan”. Akan tetapi UU No. 7/1992 tidak
memuat ketentuan lebih lanjut tentang kepailitan bank, sehingga harus
berdasarkan peraturan yang berlaku umum.
Dalam hal ini
muncul adanya kebutuhan sebuah UU khusus kepailitan bagi bank sebagai suatu lex
specialis dari UU kepailitan, karena
apabila UU kepailitan yang ada diterapkan belum tepat, adanya kelemahan UU
Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan yang berusaha disempurnakan dalam RUU
kepailitan baik dari sisi materiel maupun aplikasinya, serta peran lembaga bank
yang bukan sekedar badan hokum biasa.
Saat ini
kondisi ekonomi dan perbankan nasional relative cukup membaik, dan mengingat
pendapat Didik J. Rachbini yang menyatakan kegagalan mengatasi krisis perbankan
terutama adalah karena kebijakan yang bersifat instant; serta adanya kebijakan
Bank Indonesia (BI) dalam upaya menyehatkan kembali dunia perbankan
nasionalyang diwujudkan dalam bentuk konsep Arsitektur Perbankan Indonesia
(API), maka permasalahan hukum dalam kewenangan dan tanggung jawab Bank
Indonesia (BI) berkaitan dengan likuidasi dan kepailitan bagi Bank bermasalah,
sangat penting untuk dituntaskan.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
ruraian yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis mengemukakan
perumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa saja permasalahan hukum yang dihadapi BI dalam menerapkan kewenangan
pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, serta apa tindakan hukum
yang tepat dalam mengantisipasi masalah yang timbul berkaitan dengan tindakan
tersebut ?
2. Apa saja permasalahan
hukum yang mungkin dihadapi BI apabila menerapkan kepailitan pada bank
bermasalah ?
C. TUJUAN PENULIS
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan
ini adalah :
1. Untuk
mengetahui apa saja permasalahan hukum yang dihadapi BI dalam menerapkan kewenangan pencabutan
izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, serata apa tindakan hokum yang tepat
dalam mengantisipasi masalah yang timbul berkaitan dengan tindakan tersebut.
2. Untuk
mengetahui apa saja permasalahan hokum yang mungkin dihadapi BI apabila
menerapkan kepailitan pada bank bermasalah.
BAB II
KERANGKA TEORI
Secara
tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dari
pengertian Black’s Law Dictionary , pengertian pailit dihubungkan dengan
ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang
telah jatuh tempo.
Dalam
KUHD dan BW Belanda dipergunakan istilah yang sama untuk likuidasi, yaitu
pembubaran dan pemberesan. Sedangkan pada system Common Law, dipergunakan
istilah Winding Up disamping Liquidation. Dalam UUPT No. 1/1995, dengan
dilikuidasinya sebuah perusahaan terjadi pemberesan asset-aset perusahaan
setelah perusahaan dibubarkan. Khusus bagi perbankan, likuidasi adalah sejak
dicabutnya izin usaha bank serta dibubarkannya badan hukum bank. Sedang
berakhirnya likuidasi bank adalah bila telah terjadi pemberesan dimana sebuah
bank tidak lagi memiliki hak maupun kewajiban.
Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. (pasal 1 angka 2
UU Perbankan 1998).
BAB III
PEMBAHASAN/ANALISIS
A.
Permasalahan
Hukum Dalam Penerapan Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank oleh
Bank Indonesia .
a. Penggunaan
Istilah Likuidasi Yang Tidak Tepat
Masyarakat mengenal istilah likuidasi bank sebagai
penyebutan berbagai kasus tidak beroperasinya sebuah bank setelah diumumkan
oleh BI apabila ditinjau dari kacamata hokum, penggunaan istilah tersebut tidak
tepat, karena tidak beroperasinya sebuah bank, belum berarti telah
dilikuidasinya bank tersebut. Dengan demikian maka “likuidasi” bank yang selama
ini dikenal oleh masyarakat perlu memperoleh penjelasan untuk mendudukan posisi
yang sebenarnya.
b. Perlindungan Hukum
Bagi Nasabah
Pada dasarnya perlindungan hukum diperlukan oleh
nasabah, baik nasabah penyimpan dana atau nasabah kreditur, juga nasabah
penerima kredit atau disebut nasabah debitor serta pengguna jasa perbankan.
Apabila dikaitkan dengan UU perlindungan konsumen yang memasukkan nasabah bank
sebagai konsumen, maka dasar hubungan hokum kedua belah pihak adalah berakar
dari suatu perjanjian.
System perbankan Indonesia sebenarnya telah
memberikan perlindungan hokum melalui 2 cara, baik secara implicit maupun
eksplisit. Sebenarnya dalam pasal 30 UU bank Sentral No. 13/1968 telah
disebutkan untuk menjamin uang pihak ketiga ygn dipercayakan kepada bank, dapat
diadakan asuransi deposito untuk tujuan pembinaan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan,
sehingga lahirlah PP 34/1973 tentang jaminan simpanan uang pada bank.
c. Kewenangan BI Dalam Pencabutan Izin Usaha,
Pembubaran Dan Likuidasi Bank
masalah pencabutan izin usaha, pembubaran dan
likuiadasi bank di Indonesia
erat kaitannya dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab BI. Untuk dapat
melaksanakan berbagai tugas secara maksimal, maka BI harus mandiri, bebas dari
segala intervensi dan campur tangan pihak manapun, termasuk Pemerintah, juga
dalam mengembangkan kebijakan “Constructive Ambiguity”, yaitu suatu kebijakan
untuk mengumumkan atau tidak mengumumkan secara terbuka kondisi satu atau
beberapa bank, mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan terhadap satu
atau beberapa bank berdasarkan penilaian atau pertimbangan “bahaya atau
tidaknya” tindakan yang akan diambil terhadap kelangsungan system perbankan.
1). Kedudukan peraturan Bank Indonesia (PBI) Dalam Hirarki Peraturan
Perundang-undangan.
PBI
adalah salah satu dari dua jenis peraturan dibidang perbankan yang lahir
berdasarkan UU No. 23/1999 tentang BI. satu jenis peraturan lain yang juga
disebut dalam UU yang sama adalah Peraturan Dewan Gubernur. Oleh UU No. 23/1999
tentang BI, kedua jenis peraturan tersebut tidak mengalami perubahan. Sejak
tahun 1999, BI telah menggunakan PBI sebagai instrument hukumnya dalam
menjalankan tegas dan wewenangnya.
Berdasarkan
fungsinya, PBI dapat menempati kedudukan pada tata urutan peraturan perundang-undangan
di Indonesia sederajat dengan Peraturan Pemerintah (PP) dengan penjelasan
sebagai :
* Pasal 5 Ayat (2)
UUD 1945 menyatakan:” Presiden menetapkan Peraturan pemerintah untuk menjalankan UU sebagaiman
mestinya”.
* Peraturan
Bank Indonesia (PBI) adalah nama peraturan yang diperintahkan dengan tegas oleh
UU No. 23/1999 tentang BI untuk melaksanakan UU (tugas dan kewenangan) BI
sebagai lembaga Negara dan sebagai Bank Sentral sebagaimana mestinya.
* Sebagai
lembaga Negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau
pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU
No. 23/1999 tentang BI.
* Kedudukan BI
sebagai Bank Sentral ini dikuatkan oleh perubahan keempat UUD.
2). Status, Tujuan, tugas dan
kewenangan BI
Status
BI, oleh UU No. 23/1999 ditetapkan dalam pasal 4. ketentuan pasal ini
menetapkan status BI sebagai Bank Sentral dan Lembaga Negara yang independent
dan sebagai Badan Hukum berdasarkan UU. Bahkan kedudukan Bank Sentral yang
independen ini dikuatkan dalam UUD 1945. Menurut pasal 8, BI mempunyai tugas:
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
system pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank.
Dalam
rangka melaksanakan tugas, mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8 huruf c, BI berwenang, antara lain :
- menetapkan peraturan
- memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank
- melaksanakan pengawasan bank
- mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan Perundang-undangan
- dalam hal keadaan suatu bank membahayakan kelangsungan usaha, system perbankan, perekonomian nasional, maka BI dapat melakukan tindakan sebagai mana diatur dalam UU tentang perbankan yang berlaku.
B. Permasalahan Hukum yang Mungkin Dihadapi BI Bilamana menggunakan
kepailitan pada Bank Bermasalah
a.
Permasalahan Umum Kepailitan
Menggunakan
sarana kepailitan bagi bank bukan masalah yang sederhana, karena dalam
kenyataannya terdapat berbagai permasalahan penggunaan upaya kepailitan di Indonesia
berdasarkan UU Kepailitan 4/1998 yang berlaku secara umum, yaitu:
1). Kelemahan UU kepailitan No.
4/1998
Dilihat
dari sejarah kehadirannya yang penuh controversial, maka dapat dipahami apabila
UU ini memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut adalah UU
kepailitan yang berlaku saat ini merupakan proses “pencangkokan” antara
peraturan lama dengan pemikiran baru dalam hukum acara yang khusus, sehingga
dalam penerapannya terdapat hal-hal yang tidak jelas pengaturannya dan
menimbulkan berbagai interprestasi dan bahkan kekosongan hukum untuk
penyelesainnya.
Disamping
itu pasal 2 ayat (1) UU No. 4/1998, yang memberi kewenangan hanya kepada
pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan, juga dalam
menangani kemungkinan kasus lain yang
muncul setelah debitur dinyatakan pailit, akan menimbulkan masalah yang lain.
2). Masalah procedural dalam
penerapan UU Kepailitan
Penggunaan
kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) sebenarnya telah lama
diatur, akan tetapi dalam praktek peraturan tersebut jarang dipergunakan dan
dimanfaatkan oleh pencari keadilan, sehingga pengalaman dalam mengadili kasus
kepailitan sangat minim dibanding dengan kasus perdata lainnya. Hal ini berakibat
perkembangan hukum kepailitan dalam teori dan praktek tidak mengalami kemajuan.
3). Ketidakpercayaan pada
Peradilan Niaga
Masalahnya
adalah tidak ada ketentuan tentang subjek dan objek sengketa yang dapat
dipersengketakan dipengadilan Niaga, sehingga menjadi masalah kompetensi antar
pengadilan. Selain itu putusan Pengadilan Niaga sering tidak dapat
dilaksanakan, karena belum ada aturan hukum yang jelas dalam menyikapinya.
b.
Faktor yang Menjadi Pertimbangan bagi BI untuk Mengajukan Kepailitan pada Bank
yang Bermasalah
UU kepailitan
telah memberi ‘hak khusus” bagi BI
sebagai pihak yang memiliki otoritas pengajuan kepailitan pada bank. Hal di
atas sangat beralasan karena bank sebagai lembaga perantara yang mengerahkan
dana masyarakat dan menyalurkannya kembali, apabila telah memiliki izin usaha, bank
bukan lagi milik pemegang saham, akan tetapi juga milik masyarakat. Otoritas BI
untuk mengajukan permohonan pailit bagi bank bermasalah, diatur dalam pasal 2
ayat (3) UU No. 4/1998.
Ketentuan hukum
tersebut cukup kuat sebagai landasan hukum bagi bank bermasalah.
1). Alasan Mengajukan Kepailitan
Pada Bank
Alasan
utama untuk diajukannya kepailitan bagi perbankan adalah berkaitan dengan
kepentingan umum dan masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan
Negara dan atau kepentingan masyarakat luas, sehingga termasuk diantaranya
adalah debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang
menghimpun dana dari masyarakat luas, atau debitor mempunyai utang yang berasal
dari penghimpunan dana masyarakat yang luas.
Dalam
UU kepailitan, ketentuan tentang debitor, termasuk sebuah bank dikatakan
bermasalah dapat disimpulkan dari ketentuan kepailitan yang terdapat pada pasal
2 ayat (1), yang menyatakan “debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu uatng yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Unsur-unsur
debitor bermasalah yaitu :
·
debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
·
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih
2). Keuntungan dan Kerugian
Penggunaan Kepailitan Bagi Bank
Keutungan
bagi nasabah, para kreditur atau masyarakat umum antara lain: menguragi praktik-paktik curang yang di
lakukan oleh bank, mengurangi mun
culnya bank-bank baru yang hanya berorientasi mengumpulkan keuntungan
tanpa memperhatikan hak orang lain atau peraturan peraturan yang berlaku.
Sedang bagi bank antara lain: masih memiliki kesempatan untuk meneruskan
usahanya, menjaga nama baik (pemilik, pengurus dan pihak ketiga yang secara
langsung terlibat dalam usaha yang bersangkutan.
Kerugiannya
adalah hilang atau kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
apalagi jika pengelolaan kurang professional.
DAFTAR PUSTAKA
Asikin Zainal, SH,S.U. 1995. Pokok-pokok Hukum Perbankan di Indonesia. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Wijdjanarto. 2003. Hukum
dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. PT.
Pusataka Utama Grafiti, Jakarta .
Yani Ahmad, Widjaja Gunawan.
1999. Kepailitan. PT. Grafindo
Persada, Jakarta .
Remy Sutan Sjahdeni, SH, Prof,
Dr.2002. Hukum Kepailtan. PT
Kreatama, Jakarta .
Hukumonline. Com. Klinik – detail
. asp ? id = 4292 – 36 k – cashed – similar pages.
American institute of Banking
diterjemahkan oleh A. Ali Hasymi, Drs. 1995. Manajemen Bank. Bumi Aksara, Jakarta .
CMS. Sip. Co.
id / Hukumonline/ Klinik, detail. Asp ? id= 105 -36 k supplemental Result –
cashed – similar pages.
Suparni Niniek, SH. 1990. KUHD dan Kepailitan. Rineka Cipta, Jakarta .
Artikel Bagus..
ReplyDeleteUNtuk menciptakan fundamental perbankan yang tangguh diperlukan sebuah Arsitektur Perbankan yang konsisten, sehingga mampu menciptakan sebuah perekonomian yang sehat pula.
Sekedar ingin berbagi, barangkali bisa sedikit menambah referensi mengenai Arsitektur Perbankan Indonesia.
Klik --> Makalah Arsitektur Perbankan Indonesia