Wednesday, April 24, 2013

Makalah Hukum Perbankan


Kepailitan Perbankan


  1. LATAR BELAKANG
Kepailitan bagi bank terdapat dalam pasal 9 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, “Dalam hal bank mengalami kepailitan, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak dimasukkan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan”. Akan tetapi UU No. 7/1992 tidak memuat ketentuan lebih lanjut tentang kepailitan bank, sehingga harus berdasarkan peraturan yang berlaku umum.
Dalam hal ini muncul adanya kebutuhan sebuah UU khusus kepailitan bagi bank sebagai suatu lex specialis  dari UU kepailitan, karena apabila UU kepailitan yang ada diterapkan belum tepat, adanya kelemahan UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan yang berusaha disempurnakan dalam RUU kepailitan baik dari sisi materiel maupun aplikasinya, serta peran lembaga bank yang bukan sekedar badan hokum biasa.

            Saat ini kondisi ekonomi dan perbankan nasional relative cukup membaik, dan mengingat pendapat Didik J. Rachbini yang menyatakan kegagalan mengatasi krisis perbankan terutama adalah karena kebijakan yang bersifat instant; serta adanya kebijakan Bank Indonesia (BI) dalam upaya menyehatkan kembali dunia perbankan nasionalyang diwujudkan dalam bentuk konsep Arsitektur Perbankan Indonesia (API), maka permasalahan hukum dalam kewenangan dan tanggung jawab Bank Indonesia (BI) berkaitan dengan likuidasi dan kepailitan bagi Bank bermasalah, sangat penting untuk dituntaskan.


B. PERUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan ruraian yang telah dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
      1. Apa saja permasalahan hukum yang dihadapi BI dalam menerapkan kewenangan pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, serta apa tindakan hukum yang tepat dalam mengantisipasi masalah yang timbul berkaitan dengan tindakan tersebut ?
2. Apa saja permasalahan hukum yang mungkin dihadapi BI apabila menerapkan kepailitan pada bank bermasalah ?

C. TUJUAN PENULIS
            Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan ini adalah :
1.      Untuk mengetahui apa saja permasalahan hukum yang dihadapi BI dalam               menerapkan kewenangan pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuidasi bank, serata apa tindakan hokum yang tepat dalam mengantisipasi masalah yang timbul berkaitan dengan tindakan tersebut.
2.      Untuk mengetahui apa saja permasalahan hokum yang mungkin dihadapi BI apabila menerapkan kepailitan pada bank bermasalah.




BAB II
KERANGKA TEORI

            Secara tata bahasa kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Dari pengertian Black’s Law Dictionary , pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.
            Dalam KUHD dan BW Belanda dipergunakan istilah yang sama untuk likuidasi, yaitu pembubaran dan pemberesan. Sedangkan pada system Common Law, dipergunakan istilah Winding Up disamping Liquidation. Dalam UUPT No. 1/1995, dengan dilikuidasinya sebuah perusahaan terjadi pemberesan asset-aset perusahaan setelah perusahaan dibubarkan. Khusus bagi perbankan, likuidasi adalah sejak dicabutnya izin usaha bank serta dibubarkannya badan hukum bank. Sedang berakhirnya likuidasi bank adalah bila telah terjadi pemberesan dimana sebuah bank tidak lagi memiliki hak maupun kewajiban.
            Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. (pasal 1 angka 2 UU Perbankan 1998).

                                                               BAB III
                                                PEMBAHASAN/ANALISIS
A.    Permasalahan Hukum Dalam Penerapan Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi Bank oleh Bank Indonesia.
a. Penggunaan Istilah Likuidasi Yang Tidak Tepat
Masyarakat mengenal istilah likuidasi bank sebagai penyebutan berbagai kasus tidak beroperasinya sebuah bank setelah diumumkan oleh BI apabila ditinjau dari kacamata hokum, penggunaan istilah tersebut tidak tepat, karena tidak beroperasinya sebuah bank, belum berarti telah dilikuidasinya bank tersebut. Dengan demikian maka “likuidasi” bank yang selama ini dikenal oleh masyarakat perlu memperoleh penjelasan untuk mendudukan posisi yang sebenarnya.
b. Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
Pada dasarnya perlindungan hukum diperlukan oleh nasabah, baik nasabah penyimpan dana atau nasabah kreditur, juga nasabah penerima kredit atau disebut nasabah debitor serta pengguna jasa perbankan. Apabila dikaitkan dengan UU perlindungan konsumen yang memasukkan nasabah bank sebagai konsumen, maka dasar hubungan hokum kedua belah pihak adalah berakar dari suatu perjanjian.
System perbankan Indonesia sebenarnya telah memberikan perlindungan hokum melalui 2 cara, baik secara implicit maupun eksplisit. Sebenarnya dalam pasal 30 UU bank Sentral No. 13/1968 telah disebutkan untuk menjamin uang pihak ketiga ygn dipercayakan kepada bank, dapat diadakan asuransi deposito untuk tujuan pembinaan  kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga lahirlah PP 34/1973 tentang jaminan simpanan uang pada bank.
c. Kewenangan BI Dalam Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran Dan Likuidasi Bank  
masalah pencabutan izin usaha, pembubaran dan likuiadasi bank di Indonesia erat kaitannya dengan tugas, wewenang dan tanggung jawab BI. Untuk dapat melaksanakan berbagai tugas secara maksimal, maka BI harus mandiri, bebas dari segala intervensi dan campur tangan pihak manapun, termasuk Pemerintah, juga dalam mengembangkan kebijakan “Constructive Ambiguity”, yaitu suatu kebijakan untuk mengumumkan atau tidak mengumumkan secara terbuka kondisi satu atau beberapa bank, mengambil tindakan atau tidak mengambil tindakan terhadap satu atau beberapa bank berdasarkan penilaian atau pertimbangan “bahaya atau tidaknya” tindakan yang akan diambil terhadap kelangsungan system perbankan.
1). Kedudukan peraturan Bank Indonesia (PBI) Dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan.
            PBI adalah salah satu dari dua jenis peraturan dibidang perbankan yang lahir berdasarkan UU No. 23/1999 tentang BI. satu jenis peraturan lain yang juga disebut dalam UU yang sama adalah Peraturan Dewan Gubernur. Oleh UU No. 23/1999 tentang BI, kedua jenis peraturan tersebut tidak mengalami perubahan. Sejak tahun 1999, BI telah menggunakan PBI sebagai instrument hukumnya dalam menjalankan tegas dan wewenangnya.
            Berdasarkan fungsinya, PBI dapat menempati kedudukan pada tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sederajat dengan Peraturan Pemerintah (PP) dengan penjelasan sebagai :
               * Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan:” Presiden menetapkan Peraturan  pemerintah untuk menjalankan UU sebagaiman mestinya”.
* Peraturan Bank Indonesia (PBI) adalah nama peraturan yang diperintahkan dengan tegas oleh UU No. 23/1999 tentang BI untuk melaksanakan UU (tugas dan kewenangan) BI sebagai lembaga Negara dan sebagai Bank Sentral sebagaimana mestinya.
* Sebagai lembaga Negara yang independen, bebas dari campur tangan Pemerintah dan atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU No. 23/1999 tentang BI.
* Kedudukan BI sebagai Bank Sentral ini dikuatkan oleh perubahan keempat UUD.

2). Status, Tujuan, tugas dan kewenangan BI
            Status BI, oleh UU No. 23/1999 ditetapkan dalam pasal 4. ketentuan pasal ini menetapkan status BI sebagai Bank Sentral dan Lembaga Negara yang independent dan sebagai Badan Hukum berdasarkan UU. Bahkan kedudukan Bank Sentral yang independen ini dikuatkan dalam UUD 1945. Menurut pasal 8, BI mempunyai tugas: menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran system pembayaran; serta mengatur dan mengawasi bank.
            Dalam rangka melaksanakan tugas, mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf c, BI berwenang, antara lain :
  1. menetapkan peraturan
  2. memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank
  3. melaksanakan pengawasan bank
  4. mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan Perundang-undangan
  5. dalam hal keadaan suatu bank membahayakan kelangsungan usaha, system perbankan, perekonomian nasional, maka BI dapat melakukan tindakan sebagai mana diatur dalam UU tentang perbankan yang berlaku.                                     

B. Permasalahan Hukum yang Mungkin Dihadapi BI Bilamana menggunakan kepailitan pada Bank Bermasalah
      a. Permasalahan Umum Kepailitan
            Menggunakan sarana kepailitan bagi bank bukan masalah yang sederhana, karena dalam kenyataannya terdapat berbagai permasalahan penggunaan upaya kepailitan di Indonesia berdasarkan UU Kepailitan 4/1998 yang berlaku secara umum, yaitu:  
1). Kelemahan UU kepailitan No. 4/1998
            Dilihat dari sejarah kehadirannya yang penuh controversial, maka dapat dipahami apabila UU ini memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan tersebut adalah UU kepailitan yang berlaku saat ini merupakan proses “pencangkokan” antara peraturan lama dengan pemikiran baru dalam hukum acara yang khusus, sehingga dalam penerapannya terdapat hal-hal yang tidak jelas pengaturannya dan menimbulkan berbagai interprestasi dan bahkan kekosongan hukum untuk penyelesainnya.
            Disamping itu pasal 2 ayat (1) UU No. 4/1998, yang memberi kewenangan hanya kepada pengadilan Niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara kepailitan, juga dalam menangani kemungkinan kasus lain  yang muncul setelah debitur dinyatakan pailit, akan menimbulkan masalah yang lain.

2). Masalah procedural dalam penerapan UU Kepailitan
            Penggunaan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Utang (PKPU) sebenarnya telah lama diatur, akan tetapi dalam praktek peraturan tersebut jarang dipergunakan dan dimanfaatkan oleh pencari keadilan, sehingga pengalaman dalam mengadili kasus kepailitan sangat minim dibanding dengan kasus perdata lainnya. Hal ini berakibat perkembangan hukum kepailitan dalam teori dan praktek tidak mengalami kemajuan.
3). Ketidakpercayaan pada Peradilan Niaga
            Masalahnya adalah tidak ada ketentuan tentang subjek dan objek sengketa yang dapat dipersengketakan dipengadilan Niaga, sehingga menjadi masalah kompetensi antar pengadilan. Selain itu putusan Pengadilan Niaga sering tidak dapat dilaksanakan, karena belum ada aturan hukum yang jelas dalam menyikapinya.

b. Faktor yang Menjadi Pertimbangan bagi BI untuk Mengajukan Kepailitan pada Bank yang Bermasalah 
UU kepailitan telah memberi  ‘hak khusus” bagi BI sebagai pihak yang memiliki otoritas pengajuan kepailitan pada bank. Hal di atas sangat beralasan karena bank sebagai lembaga perantara yang mengerahkan dana masyarakat dan menyalurkannya kembali, apabila telah memiliki izin usaha, bank bukan lagi milik pemegang saham, akan tetapi juga milik masyarakat. Otoritas BI untuk mengajukan permohonan pailit bagi bank bermasalah, diatur dalam pasal 2 ayat (3) UU No. 4/1998.
Ketentuan hukum tersebut cukup kuat sebagai landasan hukum bagi bank bermasalah.
1). Alasan Mengajukan Kepailitan Pada Bank
            Alasan utama untuk diajukannya kepailitan bagi perbankan adalah berkaitan dengan kepentingan umum dan masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan atau kepentingan masyarakat luas, sehingga termasuk diantaranya adalah debitor mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat luas, atau debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana masyarakat yang luas.
            Dalam UU kepailitan, ketentuan tentang debitor, termasuk sebuah bank dikatakan bermasalah dapat disimpulkan dari ketentuan kepailitan yang terdapat pada pasal 2 ayat (1), yang menyatakan “debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu uatng yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
            Unsur-unsur debitor bermasalah yaitu :
·         debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
·         tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih

2). Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Kepailitan Bagi Bank
            Keutungan bagi nasabah, para kreditur atau masyarakat umum antara lain:    menguragi praktik-paktik curang yang di lakukan oleh bank, mengurangi mun           culnya bank-bank baru yang hanya berorientasi mengumpulkan keuntungan tanpa memperhatikan hak orang lain atau peraturan peraturan yang berlaku. Sedang bagi bank antara lain: masih memiliki kesempatan untuk meneruskan usahanya, menjaga nama baik (pemilik, pengurus dan pihak ketiga yang secara langsung terlibat dalam usaha yang bersangkutan.
            Kerugiannya adalah hilang atau kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan apalagi jika pengelolaan kurang professional.


DAFTAR PUSTAKA

Asikin Zainal, SH,S.U. 1995. Pokok-pokok Hukum Perbankan di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Wijdjanarto. 2003.  Hukum dan Ketentuan  Perbankan di Indonesia. PT. Pusataka Utama Grafiti, Jakarta.

Yani Ahmad, Widjaja Gunawan. 1999. Kepailitan. PT. Grafindo Persada, Jakarta.

Remy Sutan Sjahdeni, SH, Prof, Dr.2002. Hukum Kepailtan. PT Kreatama, Jakarta.

Hukumonline. Com. Klinik – detail . asp ? id = 4292 – 36 k – cashed – similar pages.

American institute of Banking diterjemahkan oleh A. Ali Hasymi, Drs. 1995. Manajemen Bank. Bumi Aksara, Jakarta.

CMS. Sip. Co. id / Hukumonline/ Klinik, detail. Asp ? id= 105 -36 k supplemental Result – cashed – similar pages.

Suparni Niniek, SH. 1990. KUHD dan Kepailitan. Rineka Cipta, Jakarta.


 






           




1 comment:

  1. nice share
    salam blogger
    http://jayawardhanalaw.blogspot.com

    ReplyDelete