Bilamana
seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama meninggalkan
tempat tinggalnya, tetapi sebelum ia pergi memberikan surat kuasa kepada orang
lain untuk mewakili dirinya mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak
ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi bilamana orang
tersebut pergi meninggalkan tempat tinggal tanpa memberikan kuasa apapun kepada
oranglain untuk mewakili dirinya atau untuk mengurus harta kekayaannya dan
segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya orang itu menimbulkan
persoalan.
Meskipun
orang yang meninggalkan tempat tinggal itu tidak kehilangan statusnya sebagai
Persoon atau sebagai subyek hukum, namun keadaan tidak ditempat (keadaan
tak hadir –afwezigheid) orang tersebut menunggalkan ketidak pastian hukum,
sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.
Ketentuan
mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tidak hadir (afwezigheid) termuat
dalam BW Buku 1 pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Biblad V dan
Stb. 1949 No.451.
Undang-undang
mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa
persiapan (pasal 463 s/d 466), masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa orang
yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan
masa pewarisan secara definitive (pasal 484).
Dalam
masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang
meninggalkan tempat tinggal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia, akan
tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta
kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya. Pada masa ini
Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk
Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dn
segala urudan orang tersebut. Sekiranya harta kekayaan dan kepentingan orang
yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan
mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada
seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada isteri atau
suaminya.
Masa yang berhubungan dengan pernyataan bahwa
orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat
5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atua 5 tahun sejak
diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu ia masih hidup,
setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak
tiga kali. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih
kepada ahli warisnya. Tetapi ini hanya bersifat sementara dan dengan
pembatasan-pembatasan.
Sedangkan
masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang
tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30
tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100
hari terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditemnpat.
Meskipun
demikian dalam setiap masa dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat
tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta
kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan batasan-batasa tertentu (pasal
486 dan pasal 487).
Kemudian
dalam pasal 489/492 diatur tentang akibat-akibat keadaan tidak ditempat yang
berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan berlakunya Undang-undang No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW mengenai alwezigheid yang berhubungan
dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.
Pentingnya
pengaturan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tidak hadir terutama
adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda
dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah maupun antar Negara
sudah lancar. Untuk sekarang pengaturan mengenai keadaan tak hadir tetap tidak
ada gunanya, satu dan lain hal bila terjadi perang atau terjadi
kekacauan-kekacauan, dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan
beberapa daerah atau Negara terputus.
1. Badan
Hukum Sebagai Subyek Hukum
A.
Pengertian Badan Hukum
Dalam
pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya
subyek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subyek hukum lain
yang sering disebut “Badan Hukum” (rechtspersoon).
Badan
hukum inipun dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula
mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/rechtsverhouding) baik
antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lain maupun antara badan
hukum dengan orang manusia (natuurlijkpersoon). Karena itu badan hukum dapat
mengadakan perjanjian-perjanjian jual-beli, tukar-menukar, sewa-menyewa dan
segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
Dengan
demikian Badan Hukum adalah
pendukung hak dan kewajiban yang tidak
berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia.
Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa, maka badan hukum tidak dapat dan
tidak mungkin berkecimpung dilapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan,
melahirka anak dan sebagainya.
Badan
Hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal (natuurlijkpersoon) adalah
suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum dalam pergaulan
ditengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempunyai kepentingan
perseorangan (individual), juga mempunyai kepentingan bersama dengan tujuan
bersama yang harus diperjuangkan bersama pula. Karena itu mereka berkumpul
mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya
untuk mewakili mereka.
B.
Teori-teori
Badan Hukum
Dalam ilmu pengetahuan hukum timbul
bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain bebeda-beda.
Berikut ini hanya dikemukakan 5 macam teori
saja yang sering dikutip oleh penulis-penulis ahli hukum kita, yaitu :
1.
Teori
Fictie dari Von Savigny
Menurut
teori ini bada hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan Hukum itu
hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang
menghidupkannya dalam sebagi subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum
seperti manusia. Teori ini diikuti juga oleh Houwing.
2.
Teori
Harta Kekayaan Bertujuan (Doel vermogents theori)
Menurut
teori ini hanya manusia saja yang menjadi subyek hukum. Namun, ada kekayaan
(vermogants) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu
terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada yang mempunyainya dan yang
terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini
diajarkan oleh A.Brinz, dan diikuti oleh Van der heyden.
3.
Teori
Organ dari Otto van Gierke
Badan
hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang
tidak bersubyek, tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riil, yang
menjelma sungguh-sungguh dakam pergailan hukum, yang dapat membentuk kemauan
sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus,
anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai pancaindra dan
sebagainya. Pengikut teori organ ini antara lain Mr.L.C.Polano.
4.
Teori
Propriete Collective
Teori
ini diajarkan oleh Planoil dan Molengraff. Menurut teori ini hak dan kewajiban
badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewjiban para anggota bersama-sama.
Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang
yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi
yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu, badan hukum adalah suatu
konstruksi yuridis saja.
5.
Teori
Kenyataan dan Yuridis (Juridische Realiteisler)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan
suatu realiteit, konkrit, riil walaupun tidak bisa diraba, bukan hayal, tetapi
kenyataan yuridis. Teori ini dikemukakan oleh Mejers ini menekan bahwa
hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada
bidang hukum saja.
Meskipun
teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat
badan hukum, namun teori-teori itu sependapay bahwa badan-badan hukum dapat
ikut berkecimpung dalam pergaulan hukum dimasyarakat, meskipun dengan beberapa
pengecualian.
C. Pembagian Badan-badan hukum
menurut
pasal 1653 BW badan hukum dapat dibagi atas 3 macam yaitu:
1. Badan
hukum yang diadakan oleh pemerintah/ kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat 1,
daerah Tingkat II/Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh Negara
2. Badan
hukum yang diakui oleh pmerintah/kekuasaan umum, misalnya
perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama.
3. Badan
hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan
Undang-undang dan kesusilaan, seperti PT, perkumpulan asuransi, perkapalan.
Kalau
badan hukum itu dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam:
1.
Kooperasi (corporatie) adalah
gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak
bersama-sama sebagai suatu subyek hukum tersendiri. Karena itu koorporasi ini
merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunysi hak-hak dan
kewajiban-kewajiban sendiri terpisah dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
anggotanya. Misalnya: PT (NV), perkumpulan, koperasi, Indonesische maatschappij
opaandelen (IMA) dan sebagainya.
2.
Yayasan (stichting) adalah harta
kekayaan yang tersendirikan untuk tujuan tertentu. Jadi pada yayasan tidak ada
anggota, yamg ada hanyalah pengurusnya.
Batas
antara korporasi dan yayaan tidak tegas, karenanya timbul beberapa ajaran untuk
membedkan korporasi itu dengan yayasan sebagai brikut:
a. Pada korporasi para anggotanya bersama-sama
mempunyai kekayaan dan bermacam-macamkepentingan yang berwujud dalam badn hukum
itu, sedangkan pada yayasan kepentingan yayasan tidak terletak pada anggotanya,
karena yayasan tidak mempunyai anggota.
b. Dalam korporasi para anggota bersama-sama
merupakan organ yang memegang kekuasaan tertinggi; sedangkan dalam yayasan yang
memegang kekuasaan tertinggiadalah pengurusnya.
c. Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya
adalah para anggotanya; sedangkan dalm yayasan yang mementukan maksud dan
tujuannya ditetapkan oleh orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berdiri
diluar badan tersebut.
d. Pada korporasi titik berat pada kekuasaan dan
kerjanya; sedangkan pada yayasan titik berat pada satu kekayaan yang ditujukan
untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan
hukum dapat pula dibedakan atas 2 jenis yakni:
1. Badan
hukum publik
2. Badan
hukum privat
Di Indonesia kriterium yang dipaki
untuk menentukan sesuatu badan termasuk badan hukum publik atau termasuk badan
hukum privat ada 2 macam:
a) Berdasarkan
terjadinya, yakni “badan hukum Privat” didirikan oleh perseorangan, sedangkan
“badan hukum public” didirikan oleh pemerintah/Negara.
b) Berdasarkan
lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan
umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum maka
badan hukum tersebut merupakan badan hukum public, kalau lapangan pekerjaanya
untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu termasuk badan hukum
privat.
Badan
hukum public misalnya :
- Negara RI
- Daerah Tingkat I
- Daerah Tingkat II/Kotamadya
- Bank-bank Negara (seperti Bank
Indonesia)
Badan
hukum privat misalnya :
Ø
Perseroan Terbatas (PT)
Ø
Koperasi
Ø
Perkapalan
Ø
Yayasan
D. Peraturan tentang Badan Hukum
(Rechtspersoon)
BW
tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW
ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III title pasal 1653 s/d
1665 dengan istilah “van zedelijke lichamen” yang dipandang sebagai perjanjian,
karena itu lalu diatur dalam Buku III tentang perikatan. Hal ini menimbulkan
keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya
dimasukkan dalam Buku ! tentang orang.
Peraturan-peraturan
lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870
No. 64 tentang pengakuan badan hukum; stb.1927 No.156 jo. Gereja dan
organisasi-organisasi agama; Stb 1939 No. 570 jo. 717 tentang badan hukum
Indonesia; 1939 No. 569 jo.717 tentang Indonesische Maatschappij op aandelen
(IMA); Kitab Undang-undang Hukum Dagang tentang PT, perseroan Perkapalan dan
perkumpulan asuransi; Undang-undang No. 12 tahun 1967 tentang pokok-pokok
perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi; dan lain-lain.
Sedangkan yayasan tidak diatur dalam undang-undang, tetapi diatur dalam
kebiasaan dan yurisprudensi.
E. Syarat-syarat badan Hukum
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/badan usaha
agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat
itu adalah sebagai berikut:
1) Adanya
harta kekayaan yang terpisah.
Harta kekayaan ini diperoleh dari par anggota maupun
dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikiler/pemerintah untuk
suatu tujuan tertentu. Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk
mencapai tujuan tertentu dari pada badan hukum yang bersangkutan. Harta
kekayaan ini, meskipun berasl adri anggotanya, namun terpiasah dengan harta
kekayaan kepunyaan pribadi anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya
tidak mengikat harta kekayaan tersebut, sebaliknya, perbuatan badan hukumyang
diwakili pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai
tujuan tetrtentu
Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil
maupun tujuan komersil yang merupakan tujuan tersendiri dari pada badan hukum.
Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang anggotanya. Usaha
untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan
diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dimuskan dengan
jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
3) Mempunyai
kepentingan sendiri
Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai
kepentingan tersendiri yang dilindungi oleh hukum. Kepentingan-kepentingan
tersebut merupakan hak-hak subyektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum.
Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan tersendiri, dan dapat
menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan
hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan huku itu harus stabil, artinya tidak
teriakt pada suatu waktu yang pendek, y\tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada
organisasi yang teratur
Badan hukum adalah suatu konstruksi
yuridis. Karena itu sebagai ubyek hukum disamping manusia badan hukum hanya
dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata
cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan
hukum, bagaiman organ itu dipilih, diganti dan sebagainya, diatur dalam
anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota yang
tiada lain dari pada pembagian tugas. Dengan demikian badan huku mempunyai
organisasi.
Pada akhirnya yang menentukan suatu
badan/perkupulan/perhimpunan sebagai badan hukum atau tidak adalah hukum positif
yang berlaku pada suatu daerah/Negara tertentu, pada waktu tertentu dan pad
masyarakat tertentu. Misalnya di Perancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui
Perseroan Firma sebagai badan hukum, sedangkan di Indonesia hukum positifnya
tidak mengakuinya sebagai badan hukum
Syarat mutlak untuk diakui sebagai
badan hukum, himpunan/perkupulan/badan itu harus mendapat izin dari pemerintah
cq. Departemen Kehakiman (d/h Gubernur Jendral – pasal 1 Stb. 1870 No. 64)
F. Perbuatan
Badan Hukum
Sebagaimana dikatakan badan hukum
adalah subyek hukum yang tidak berjiwa seperti manusia, karena itu badan hukum
tidak dapat melakukan perbuatan-perbiatan hukum sendiri, melainkan harus
diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan
untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dan atas nama hukum. Orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut “organ” (alat perlengkapan
seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang merupakan
unsure penting dari organisasi badan hukum itu.
Organ dari badan hukum itu berbuat
dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh dilakukan,
lazimnya semua ini ditentukan dalam anggaran dasar hukum yang bersangkuatan
maupun dalam peraturan lainnya. Dengan demikian organ badan hukum tersebut
tidak dapat berbuat sewenang-wenag, tetapi dibatasi oleh ketentuan-ketentuan
intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik yang termuat dalam anggaran
dasar maupun peraturan lainnya.
Tindakan badan hukum yang melewati
batas yang ditentukan, tidak menjadi tanggung jawab badan hukum, tetapi menjadi
tanggumh jawab pribadi organ yang melampaui batas, kecuali tindakan itu menguntungkan
badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui
tindakan itu. Dan persetujuan organ kedudukannya lebih tinggi ini harus dalam
batas-batas kompetensinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam pasal
1656 BW yang menyatakan:”segala perbuatan, untuk mana para pengurusnya tidak
berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekadar perkumpulan itu
sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekadar
perbuatan-perbuatan kemudian telah disetujui secara sah” .Kemudian pasal 45 KUH Dagang
menyatakan :
1.
“Tanggung jawab para pengurus
adalah tak lebih dari pada untuk menunaikan tugas yang diberikan kepada mereka
dengan sebaik-baiknya; merekapun karena segala perikatan dari perseroan, dengan
diri sendiri tidak terikat kepada pihak ketiga”.
2.
“Sementara itu, apabila mereka
melanggar Sesuatu ketentuan dalam akta, atau tentang perubahan yang kemudian
diadakannya mengenai syarat-syarat pendirian, maka, atas kerugian yang
karenanya telah diderita oleh pihak ketiga, mereka itupun masing-masing dengan
diri sendiri bertanggung jawab untuk seluruhnya”.
Jadi jelas dalam hal organ bertindak
diluar wewenangnya, maka badan hukum tidak dapat dipertanggung jawabkan atas
segala akibatnya, tetapi organlah yang bertanggung jawab secara pribadi
terhadap pihak ketiga yang dirugikan. Badan hukum yang semula diwakili organ
itu tidak terikat dan tidak dapat dimintakan pertanggungjawabkan oleh pihak
ketiga.
Lain halnya kalau organ itu
bertindak masih berada dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya,
meskipun terjadi kesalahan yang dapat dikatakan perbuatan melanggar hukum
(onrechtsmatige daad), badan hukum tetap bertanggungjawab menurut pasal 1365
BW. Demikian sebagian pendapat besar ahli-ahli hukum, seperti Paul
Scholten.
No comments:
Post a Comment