Profil Dr H Daharmi Astuti LC M.AgSewaktu kecil ia tak pernah berfikir untuk bersekolah di sekolah keagamaan. Apalagi masuk ke sebuah pesantren dan bercita-cita menjadi seorang pendakwah. Bahkan perempuan berkerudung ini bercita-cita menjadi seorang polwan karena kagum melihat kegagahan pelindung negara itu.
Memang apapun yang kita cita-citakan semuanya kembali tentukan oleh Tuhan. Mungkin itulah yang terjadi didalam hidup perempuan berusia 36 tahun ini. Karena amanah sang Bibi kepada ayahnya sebelum wafat agar menyekolahkan mereka di salah satu pesantren di tempat tinggalnya , membuat jalan hidupnya berubah. “ Karena wasiat itu kami adik-beradik sekolah di Diniyah Putri Panjang. Cita-cita jadi polwan tak kesampaian,” kenangnya.
Meski yang ia jalani tidak sesuai dengan cita-citanya, nyatanya perempuan yang mahir berbahasa Arab ini mampu menorehkan berbagai prestasi dan menyiarkan ajaran agamanya. Setelah selesai menjalani Sekolah Dasarnya di SD Seruni I Pekanbaru, ia melanjutkan SMP dan SMA di Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang yang merupakan pesan terakhir sang bibi. Inilah awal kariernya dibidang dakwah.
Karena prestasinya yang sangat baik kala bersekolah, bahkan ia meraih juara umum, membuatnya ditawari oleh gurunya untuk melanjutkan pendidikan Strata Satu secara gratis (beasiswa) di Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir. ” Pada tahun 1991 setelah tamat kami dikirim sebanyak sembilan orang kesana,” ujar putri dari H. Baharudin ini.
Berguru di Negeri Orang
Menjadi seperti sekarang, bagi perempuan yang jua berprofesi sebagai dosen ini bukanlah hal yang mudah. Semua dirintisnya sejak kecil dan belajar sangat keras di di bangku perkuliahan. Saat itu ia bersama delapan temannya, tiba dan mendaftar di Universitas Al-azhar akhir September. Perkuliahan disana hanya berlangsung pada saat musim dingin.
Adaptasi terhadap lingkungan, alam dan bahasa bukanlah hal mudah. ”Ketika belajar persoalan bahasa sangat berat. Karena dosen pakai bahasa dialeg Mesir, bukan bahasa fusha atau nasional, dan diperkuliahan kita baru nyampe kondisi udara sangat dingin”, ujarnya.
Untunglah kala pertama tinggal di Mesir ia sekamar dengan orang Sudan dan Malaysia, yang membuatnya tak menggunakan bahasa ibu, dan terbiasa menggunakan bahasa Arab. Sehingga dalam waktu setahun ia telah mahir menggunakan bahasa yang dipergunakan orang disekitarnya, meskipun hanya basicnya saja.Tak hanya itu ia juga ditantang untuk memilih jurusan yang ada di universitasnya.
Dan dari semua jurusan itu hanya tiga jurusan yang gratis yaitu Bahasa Arab, Syariah Islamiyah, dan Ushuluddin. Akhirnya setelah bertanya kepada teman-temannya ia mengambil jurusan Syariah. ”Saya ambil jurusan syariah yang notabene banyak hapalan, bahasa arab agak sulit banyak yang gagal, dan ushuludin harus pandai mengarang,” jelas perempuan kelahiran Kota Tengah ini.
Dan semua hambatan itu diatasinya dengan baik sehingga hanya membutuhkan waktu lima tahun belajar, ia telah berhasil menyelesaikan studinya. Tak hanya itu ia pun berhasil menmperoleh nilai Jayyid di Universitas Al-Azhar yang diberikan oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Cairo. ”Memperoleh nilai Jayyid sangat membanggakan karena memang hapalan banyak, Al-quran tiap tahun harus hapal dua juz, ditambah berat lagi dengan persoalan bahasa dan kondisi belajar yang cuma musin dingin, jadi harus bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin,” ujar perempuan yang memiliki motto you can if you think you can and do what you can ini.
Menuntut Ilmu Setinggi-tingginya
Daharmi adalah sosok yang begitu senang belajar. Setelah lulus S1 ia melanjutkan jenjang pendidikannya ke jenjang S2. setelah dinyatakan lulus di UKM sebagai mahasiswa, kondisi ekonomi melanda keluarganya yang pada saat itu sedang krisis moneter di thaun 1998. Ia kembali harus mengubur cita-citanya. Namun nasib baik tetap menaunginya, . ia memperoleh beasisiwa dari UIN Sunan Kalijaga Yogjakarata. Dilema kembali terjadi karena jurusan filsafat yang ia pilih tak begitu ia pahami. .
Pertama masuk ia kecewa dengan apa yang ia jalani. Satu semester ia ogah-ogahan melanjutkan kuliah. Di Malaysia jurusan syariah yang ia pahami, namun kondisi ekonomi tak mendukung. ”Tuhan barangkali memberikan jalan, Akhirnya saya menruskan program S-2 saya di Yogya,” ujar perempuan berdarah minang ini.
Meski tantangan hidup yang begitu sulit ia hadapi dalam bersekolah, cita-citanya untuk tetap bersekolah tak pernah lekang. Kini ia tengah mengikuti program S3 nya di UIN Sunan Kalijaga Jogyakarta.
Menebar Ilmu Di Seluruh Tempat
Sepulangnya dari Cairo, tahun 1997, karena merupakan alumnus Universitas bergengsi dunia begitu banyak tawaran untuk berceramah menyambanginya. ” Tuntutan pulang dari Al-Azhar harus berdakwah, saya tak bisa mengelakkan itu di kampung saya diminta ceramah, ya, saya lakoni, ” ujarnya. Dan hal itu berlangsung selama lima bulan sebelum ia melanjutkan S2-nya di Yogyakarta.
Di tahun 2002 ia berkiprah di BKMT sebagai anggota Bidang Dakwah. Disini ia pun berdakwah ke berbagai daerah, bahkan higga ke Lembaga Pemasyarakatan (LP), panti asuhan, bahkan hingga panti jompo. Bahkan pada tahun 2004 saat ia diangkat menjadi Kabid Bidang Dakwah, di organisasi ini ia menggagas seminar internasional negara jiran serumpun yang diikuti enam negara. ” Alhamdulillah, kita bisa mengukir prestasi di BKMT, dan bisa mendatangkan pembicara-pembicara dari internasional, enam negara, kecuali Filipina dan Singapura. Thailand, Indonesia, Malaysia, Brunei bisa hadir,” kenangnya. Setelah acara itu berlangsung ia pun banyak di undang untuk mengikuti berbagai seminar internasional keagaamaan si berbagai negara.
Keahliannya dalam berdakwah tak hanya sampai disitu saja. Kini ia mulai menyebarkan dakwahnya hingga ke dunia pertelevisian dan penyiaran. Baginya selama ia bisa melakukannya akan ia lakukan dengan sebaik-baiknya. ”Sekarang kita dakwah di Riau televisi (Rtv) tiap tiga kali sebulan, kemudian lagi kerjasama dengan radio RRI Riau,”ujarnya mantap. Baginya menyebarkan ilmu agama tak hanya terbatas di masjid-masjid dan di berbagai majelis. Namun seorang pendakwah pun harus mengikuti perkembangan zaman.
Potensi dakwahnya yang begitu baik membuatnya diminta untuk mengajar di Pesantren Teknologi Riau tahun 2003. Tadinya ia ingin masuk sebagai instruktur bahasa dan pengasuh putri pesantren, karena akan mengerjakan disertasinya. Namun karena sifatnya yang tak bisa bekerja setengah-setengah membuat keinginannya itu tak kesampaian. ”Ternyata dua tahun di sana, juga tak bisa menyelesaikan disertasi sama sekali. Karena saya ingin totalitas,” ujar perempuan berkulit sawo matang ini. Menyebarkan dakwah secara penuh tanggung-jawab, dan tak bisa setengah-setengah membuatnya menjadi pendakwah yang penuh prestasi.
Di tahun 1996 ia pernah dipercaya sebagai juri syahril Al-quran Windah, United Student of Cairo dan tahun 2002 ia menjadi tim peneliti Riset kerjasama Pasca UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan Menristek.tak hanya itu di tahun 1997 ia pernah menjadi Kepala Sekolah sebuah Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA).
Ada sebuah cita-cita yang ingin ia wujudkan dalam berdakwah, yakni menyiarkan agama di kalangan kaum remaja. ” Kita ingin menghimpun remaja, misalnya dakwah tentang narkoba, larangan minum-minuman keras, pendidikan seks usia dini dan menjadi muslimah yang baik, ” harapnya. Meski belum terlaksana ia tetap ingin mewujudkannya di masa mendatang.
Memaknai Hidup
Kini yang ingin dilakukannya adalah terus berkarya. Baginya memberikan manfaat bagi orang lain adalah hal yang diidam-idamkannya. ” Saya yakin ridho Allah, ada ketika kita mampu bermanfaat bagi orang lain,” tegasnya.
Perempuan yang masih hidup sendiri inipun selalu terus belajar didalam kehidupannya. Mengembangkan diri adalah hal yang harus dilakukan di masa kini baginya. Dan ia juga sangat menginginkan agar kaum sejenisnya tetap belajar dan selalu diimbangi dengan mentalitas yang baik. ” Kalau sudah ilmiah mentality nya juga harus bagus,”itulah harapnya. harapan seorang pendakwah untuk kaumnya yang mudah-mudahan mengikuti jejaknya, atau justru lebih baik darinya.
No comments:
Post a Comment