Korban yang meninggal akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau
Asap pagi ini sangat pekat, langit
menguning, mataku tak bisa terbuka. Dua kali kuhentikan sepeda motor untuk
menyeka air mata yang terus menetes, aku hanya bisa memandang 5 meter kedepan.
Kuperlambat laju sepeda motor, hanya 10km/jam, masker N95 yang kupakai masih
terasa tembus oleh asap. Seisi ruangan kantor menguning. Kondisi
Riau yang diselimuti asap ini akibat kebakaran hutan selama 18 tahun terakhir
yang tak kunjung teratasi.
Oleh
Yofika Pratiwi Saragih
Dua minggu
mengungsi ke hotel, asap telah mengisi segala penjuru masuk keseluruh celah
rumah. Masih saja tenggorokan terasa sakit, bernafas susah, akhirnya kuputuskan
ke dokter. September (30) Indeks
Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Kota Pekanbaru Propinsi Riau berwarna hitam
berada di level berbahaya yakni diangka 500 selama dua mingggu terakhir. “
Harus istirahat dua hari, kurangi aktivitas,”jelas dokter saatku berobat di
Klinik Husada jl. Adi Sucipto Pekanbaru.
ISPU menunjukkan kondisi udara di PEkanbaru berbahaya |
Medio Oktober (20/10) kondisi Bumi lancang kuning tak jua
berubah, sudah lima hari Bandar Udara Sultan
Syarif Qasim II Pekanbaru ditutup jarak pandang hanya 100m, konsentrasi partikulat
PM10 di Pekanbaru 533 artinya berbahaya. Kondisi udara sempat berubah saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang ke Riau dan menyambangi
Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (9/10). Kondisi udara turun ke level tidak sehat
namun, asap kembali menggila. Pagi hari (19/10) menuju kantor
yang berjarak 2km dari rumah, asap pagi ini sangat pekat, langit menguning,
mataku tak bisa terbuka. Dua kali kuhentikan sepeda motor untuk menyeka air
mata yang terus menetes, aku hanya bisa memandang 5 meter kedepan. Kuperlambat
laju sepeda motor, hanya 10km/jam, masker N95 yang kupakai masih terasa tembus
oleh asap. Seisi ruangan kantor menguning. Sesak tenggorokan kembali kurasakan padahal
waktu bangun baik baik saja. Kuputuskan membeli okseigen setelah menghirup
oksigen murni beberapa menit, baru terasa lega. Akhirnya kuputuskan melakukan
pendataan saja di Kantor.
Akibat asap sudah empat.
orang meninggal dalam 3 bulan terakhir akibat terpapar
asap, Muhanum Anggriawati (12th), Muhammad Iqbal (31th), bayi N (1,8bulan) dan
Ramadhani Lutfi Aerli (9). Paparan asap
akibat kebakaran hutan dan lahan di Riau memang bukan menjadi penyebab utama
kematian di Pekanbaru. Namun asap memperparah kesehatan masyarakat yang
memiliki penyakit bawaan dan memperburuk kesehatan yang dalam kondisi fit. “ Dalam tiga bulan mulai Juli kasus Ispa (Infeksi saluran
pernafasan atas) ga ada yang dirawat
inap. Tetapi sakit Asma dan penyakit lain yang dipicu asap meningkat, Agustus
20 %, September 40 %. Yang paling terberat ada dua kasus yang pertama Bapak I
berumur 31 tahun asma yang yang dipicu
asap dan anak N memiliki riwayat pneumonia,”ujar dr. Rumatha Veralisa (Humas RS. Awal Bross cab. Panam,
Pekanbaru).
Lahan terbakar di Pelalawan, Riau pada tahun 2013 |
Riau diselimuti asap ini akibat kebakaran hutan selama 18 tahun terakhir
yang tak kunjung teratasi. Koalisi Penyelamat Sumber Daya Alam (PSDA) Riau dan data hotspot Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau)
Januari-Agustus tahun ini total 5.869 titik api di lahan HTI,
sawit dan hutan lindung dan lahan gambut. Dari 5.860 hotspot 4057 di
gambut.
***
Di rumah
berukuran enam meter
kali enam meter saya menjumpai Musriati Lubis (32tahun). Ia menggendong anak
perempuannya, menaikkannya ke odong-odong permainan anak yang lewat di depan
rumah. Lalu pagi itu (17/10) kami berbincang duduk di
tikar bersama Muhklis sang suami. Ia ibu Muhanum
Anggriawati, salah satu korban yang meninggal akibat paparan asap.
Jumat akhir Agustus Hanum pulang sekolah,
dari jendela rumah ia melongok “Mak hangat badan kakakni,”ujarnya dengan logat
Melayu. “Ia nak, masuklah nak, masuklah nanti minum obat biar lega,” jawab sang
ibu.
Menurut perempuan Mandailing ini anaknya tak
memiliki riwayat penyakit. Hanum lahir dengan kondisi normal beratnya 3,3kg.
Lahir langsung ia susui dan Hanum muntah. Agak khawatir dengan kondisi ini Ia
membawanya ke dokter. “Biasa tu bu, ada anak yang habis menyusu muntah, itu
kata dokter,”jelasnya. Tak kunjung sembuh muntah, ia kembali membawa anak
pertamanya ke RS Ibnu Sina karena berat badannya tak jua bertambah. “Dua hari,
kami disuruh pulang, hasil lab darah dan semuanya baik, dia normal dan sehat.
Itu penjelasan rumah sakit, “terangnya lagi.
Foto Hanum saat masih kecil |
Sejak lahir 25 Agustus 2003 tumbuh kembang
Hanum normal, namun ia tak memiliki nafsu makan yang kuat sehingga tubuhnya
kecil dari anak lainnya. “Kadang capek kesana kemari tapi ga ada hasilnya, umur
5 tahun kami rontgen hasilnya semua baik. Dia sehat dan Hanum harus sekolah,
ada yang bilang gini, ga apa tu nanti kalau udah besar badannya kembali,”ujar
Musriati. Kakak dari dua orang adik ini pun bersekolah di SDN 171 Tenayan Raya,
Pekanbaru, dan ia tak pernah sakit lagi, hanya demam biasa saja sesekali. “Waktu
asap tahun lalu dia batuk, diasap dua kali sama Bidan sembuh (pemberian asap untuk membantu pernafasan, red),
jelasnya.
Demamnya reda, tapi malam hari ia kembali
demam. Pagi hari dia memaksa bersekolah, ia minta rambutnya sisir Ayahnya, itu
kebiasaan Hanum. Lebih rapi katanya,
namun dilarang untuk berangkat sekolah. “Ga usah sekolah ya sayang, biar
Mamak permisi kan,” ujar Musriati.
Malam hari dia berdehem batuk sesekali.
Minggu (30/08) batuk hanum sekamin parah. “Hukkkhukkhukk,” suara batuk Hanum
menyambung. “Kenapa nak?,”tanya Sang ibu. “Ga tahu mak, tepuk kakak Mak (meminta punggungnya ditepuk,red), bantu
kakak Mak,” kata Hanum panik.
“Bang bawalah dia ke Bidan biar diasap,”
pintanya ke suami. Saat diperiksa Bidan tak menyarankan untuk dilakukan pengasapan
karena masih batuk biasa. Dan Hanum diberikan obat untuk dimakan saja.
Setelah itu dia bernafas seperti biasa, siang
hari Hanum bernafas normal seperti biasanya. Malam hari kondisi Hanum memburuk.
“Batuknya duakali hukkhukk kayak orang
tersedak dan sambung-menyambung, berjejer sesak gitu. Dia
minta jendela dibuka. “Buka lah mak, katanya. Ga boleh nak asap,” jelas sang
ibu. Asap Pekanbaru yang pekat membuat masyarakat harus menutup seluruh lubang
udara di rumah dan hanya mengandalkan alat pendingin ruangan. “Kami hanya
memakai kipas angin, satu di dalam, satu diarahkan keluar untuk mengusir
asap,”jelas Mukhlis.
Kondisi udara diakhir Agustus memang semakin parah
kebakaran lahan menyebabkan asap yang tak kunjung berhenti. Budaya membakar
lahan sudah menjadi tradisi di Riau. Tahun 2007 saya melakukan liputan ke
Kampar Kiri Riau, soal
kebakaran lahan Riau. Menurut Ninik Mamak (Ketua Adat, red) budaya membakar dilakukan sejak dulu untuk membuka lahan. Menebang semua pohon lalu menumpuknya di tepi lahan.
Ini dilakukan agar api tidak menyebar ke lahan orang lain dan pembakaran ditunggu
hingga lahan bersih dan api padam. Timbunan pepohonan hasil tebangan sebagai
pembatas agar api tidak menyebar, itu sangat ampuh. Dan lahan
yang dibakar juga tidaklah luas.
Namun kini pembakaran lahan dan hutan
dilakukan serampangan dengan jumlah area yang cukup luas ditambah lagi dilahan gambut. Pada persidangan kebakaran lahan PT Adei
Plantation di PN Pelalawan 14 April tahun lalu Prof. Bambang Rahardjo (Dekan Fak. Kehutanan IPB) dalam persidangan menjelaskan “Perusahaan sengaja membakar
lahan dilakukan agar menaikkan PH tanah menjadi subur, lahan gambut tidak baik
untuk ditanam, harus dipupuk. Biaya pemupukan 1ha sekitar 40juta. Dengan
membakar tanah menjadi subur murah,” jelasnya. Alasan inilah penyebab maraknya kebakaran hutan dan lahan di Riau. Selain korporasi
adapula perambah. Sejauh
ini Polda Riau bahkan sudah menetapkan 67 tersangka, 63 perorangan dan 4 korporasi, 27 perkara yang sudah akan masuk tahap
persidangan, 28 perkara tahap penyidikan, 16 tahap 1 dan total jumlah lahan
yang terbakar di Riau seluas 5. 906.
“Ini kegagalan pemerintah dan gambaran buruk
tata kelola perizinan dan sumber daya alam. Kita sudah melakukan gugatan dan membuka posko bersama Walhi, Jikalahari.
Lembaga Adat Melayu Riau, dan koalisi masyarakat sipil lainnya, minggu ini kita
masukkan notifikasi untuk gugatan Citizen Lawsuit. Antusiasme masyarakat untuk
melakukan gugatan besar mengambil formulir namun dalam pengembalian kurang.
Kami harapkan masyarakat tidak hanya mengeluh di media social tapi ikut ambil bagian dalam upaya hokum,”
ujar Boy Even Sembiring (Walhi Riau)
***
Malam jelang dibawa ke rumah
sakit, Hanum sangat rewel. Dia minta digendong, jam 12 malam ia diminta
dilakukan pengasapan. Karena sudah dini hari, Ibunya tak bisa menurutinya,
dengan kain basah ia menyeka wajah anaknya agar tak terlalu sesak. Bangun pagi hari, “Mak
kakak lihat banyak orang pakai jilbab kuning ke rumah
kita. Hari ini kakak mau dijalin tinggi rambutnya kayak Elif (aktris cilik film Turki,red) yah Mak,”pintanya. Musriati heran
namun, menuruti saja karena biasa Hanum selalu meminta Ayahnya yang mengikatkan
rambutnya.
Hari itu Hanum berpakaian rapi, Rabu pagi
(02/09) ia bersama adik bungsu dan orang tuanya menuju RSU Arifin
Achmad Pekanbaru. “Kakak kenapa pakai sepatu tinggi, ga usahlah nak,” tanya
ibunya. “Biarlah mak, ga suka kakak kelihatan sakit, biar kelihatan cantik,”
jelasnya.
Ibunda Hanum menangis mengenang anaknya. |
Sampai di rumah sakit ia tak langsung menuju ruang
pemeriksaan. “Kami berkeliling keliling, dia minta katanya enak juga ya Mak
jalan disini,” katanya. Didepan ruang Unit Gawat Darurat Hanum mundur. “Takut
Hanum mak, gendong, cium Hanum Mak” katanya seperti anak kecil merengek. “Ga
apa apa nak ada mamak,”napa kakak gitu suaranya kayak anak kecil, jangan gitu
bikin Mamak takut” ujar sang ibu heran.
Masuk ke UGD Hanum duduk dan langsung
dipasang alat kemulutnya untuk dilakukan pengasapan. “Lepas Mak, lepas Tante ,
lepas Om,” ujar Hanum. “Ga apa do nak, kata saya mungkin dia takut karena alatnya
besar jauh besar dari yang dibidan. Posisinya juga ga bisa diubah ubah kayak di
bidan.
Tapi
alat tak juga dilepas, Hanum terus menangis. “Langsung saya lepas aja,” terang
Musriati. “Mak kakak udah ga disini lagi mak, minta maaf kakak Mak, nampak ga
kakak?” tanya hanum. “Kakak kok ngomong gitu kakak. Jangan ngomong gitulah mama
takut, nampak nak ini kan mamak pegang mamak cium malah,” ujar sang ibu berurai
airmata mengenang kepergian anaknya. “Ga mak percayalah sama kakak,” ujarnya.
Samar tak terdengar lagi suara Hanum, itulah
terakhir ucapan Hanum. Ia dinyatakan gagal nafas dan dimasukkan ke Pediatric
Intensive Care Unit (PICU). Tak jua sadar hingga 10 September Hanum meninggal
dunia.
Tak hanya kesedihan atas kepergian anaknya,
Musriati juga sedih karena rumor yang menyebutkan berbagai jenis penyakit
anaknya. “Saya kecewa, di media, di tv swasta nasional Kepala Dinas menyebutkan
anak saya sakit menigitislah, apalah ngeri, padahal hingga meninggal hanya
sakit gagal nafas,” jelasnya menangis. Dokter tidak melakukan cek darah dan CT
Scan terhadap Hanum dikarenakan kondisinya yang tidka memungkinkan karena
dipasang berbagai alat bantu menurut sang ibu.
“Kalau memang anak saya sakit yang lain-lain,
ga mungkin saya biarkan. Nayawapun jadi taruhan untuk anak,” ujarnya menangis. Kini tak adalagi yang akan mendamaikannya kala ia bertengkar
dengan sang Suami, menjadi pengingat agar ia selalu sabar. “Rumah damai kalau
ada dia, paling pandai mengambil hati orangtua,” ujar Musriati tak henti
menangis selama berbincang dengan saya.
Tak
hanya itu yang membuat Musriati bersedih, keramahan pihak Rumah Sakit tak di
temuinya. “Orang di rumah sakit itu bilang saya kayak orang gila, gimana ga
gila rasanya, saya cemas anak yang sakit aja meninggal kita ga siap. Apalagi anak
yang sehat,” kenangnya berurai air mata. Rumah sakit pun menyuruhnya
menandatangani surat kematian Hanum. “Silahkan ibu tangani, sudha tahu kan anak
ibu sakit apa, gagal nafas. Tanda tangani disini,” itulah penjelasan mereka
menurut Musriati. Hanya itu yang ia tahu tentang penyakit anaknya.
Namun
mereka telah mengikhlaskan buah hati mereka. “Saya sudah ikhlas, mau mengugat
pun kasihan anak yang ada di kubur diungkit kembali,” ujar Ayah Hanum. Sepeninggal
Hanum ada rasa khawatir menyerang karena asap tak kunjung reda. “Kalau anak
saya yang dua ini sakit, langsung rasanya saya takut kenapa, khawatir sekali,”
ujar Musriati yang masih trauma meninggalnya Hanum. Ia sangat berharap agar
pemerintah daerah segera menganggulangi asap, “Ketika sudah tahu kebakaran
cepat di tanggulangi, biar tidak ada Hanum berikutnya, cukuplah dia yang
terakhir.
Simpati
mengalir deras dari berbagai media, masyarakat, dan kerabat karena Hanum
merupakan korban meninggal akibat asap yang pertama. Kunjungan dari Gubernur
Riau dna bantuan dari pemerintah daerah pun diberikan kepada keluarga ini.
***
Saya
pun menjumpai Dokter Spesialis Paru untuk bertanya soal dampak asap, Jumat sore
(16/09) di ruang prakteknya RS Awal Bross Cab. Panam. “Kalau yang meninggal detailnya saya tidak
tahu karena tidka menangani, Cuma biasa kalau semata mata karena asap biasa
tidak sampai meninggal. Tapi bisa jadi karena daya tahan tubuh rendah,
akibatnya jadi gagal nafas dan meninggal,” jelas dr. Samsul Afandi SpP
(Spesialis Paru RS. Awal Bross Panam).
Ia menyarankan agar masyarakat mengurangi
aktifitas diluar ruangan, makan makanan bergizi, minum vitamin, kalau memiliki
riwayat penyakit Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), asma, TBC yang sangat
rentan dapat keluar daerah.
Berdasarkan
data dari UNICEF anak anak lebih rentan terkena dampak kesehatan dari asap. Mereka
menghirup lebih banyak udara per kilo berat badan mereka dari orang dewasa.
Semua anak di daerah terdampak asap butuh perhatian khusus. Untuk itu anak seharusnya:
·
Anak anak sebaiknya berada
di dalam ruangan.
·
Anak anak harus menggunakan
masker
·
Cuci tangan teratur, agar
tidak mengkonsumsi makanan saat tangan berdebu
·
Batasi polusi udara seperti
asap rokok dan lilin
·
PAntau kesehatan fisik anak,
jika sakit segera langsung ke Rumah Sakit.
·
Jaga kondisi psikologis
anak, ajak anak bicara, tenang lakukan rutinitas seperti biasa.
Anak
anak memang menjadi korban yang sangat akibat dampak asap. Berbeda dengan Hanum
yang dapat dilihat gejalanya, Ramadhani Luthfi Aerli (9th) meninggal
tanpa tanda meninggal akibat asap.
Luthfi
adalah anak yang pintar beberapa kali dia juara dalam lomba, lomba adzan dan
hafiz Alquran. Malam ini (27/10) saya menuju rumah Lutfi, Jl. Pangeran Hidayat
tepat di tujuh hari kepergiannya keluarga melakukan pengajian. Sekitar 20 orang
kaum Bapak memenuhi jalan di depan rumahnya. Didalam rumah sudah dipenuhi kaum
ibu, kamipun berbincang diluar. Rumah
itu tampak sederhana dengan lebar kurang lebih 8 meter. Tanpa teras, daerah
Pangeran Hidayat merupakan daerah padat penduduk. Rintik hujan sedari sore tak
berhenti, Ayah Luthfi mengisahkan kenangan sehari yang merenggut nyawa anaknya.
Pagi
(19/10) Luthfi bersekolah seperti biasanya, di kelas ia berlomba menjawab
pertanyaan guru pelajaran Matematika tentang perkalian. Murid di Madrasah Ibtidaiyah
Negeri 1 Pekanbaru dipulangkan karena kondisi udara yang buruk. “Jam 12 Luthfi
udah di rumah semua sehat sehat aja,”juar Eri Wiria (46th) Ayah
Luthfi.
Foto Lutfi yang dijadikan poster demo asap oleh tetangganya |
Langit
yang menguning sedari pagi karena pekatnya kabut asap akibat kebakaran hutan
dna lahan menguning. “Pa, Ufi mau main keluar ya,” pinta
Lutfi usai Magrib. “Jangan, ga lihat asap tadi parahkan kalau malam turun tu
kabutnya,” larang Papanya.
Uring-uringan
dia ngotot minta keluar rumah.
“Ya
sudah kalau Ufi bisa jawab 10 pertanyaan Papa soal kali-kali (hitungan
perkalian) boleh keluar salah satu, boleh bonus pertanyaan satu,” tantang Eri.
Luthfi
pun meladeni tantangan Papanya demi dapat bermain keluar rumah. Namun ia hanya
dapat menjawab dua pertanyaan. Jadilah ia hanya boleh bermain di dalam rumah.
Tak henti merengek minta keluar rumah hingga akhirnya tertidur malam itu.
Asap
semakin parah sekolah diliburkan, Luthfi bangun jam 10 pagi karena libur. Lalu
ia bermain bersama adiknya, sesekali berebut komputer. Dilarang bermain keluar
rumah dia hanya bisa bermain di rumah.
“Bun
kepala Ufi pusing, badan agak deman belikan obat ya,” pinta Lutfi ke Lili wirmaria (33th ). Bunda pun membelikannya
obat demam yang lain dari biasa Luthfi minum. Usai makan diminumnya obat sirup,
langsung tidur.
Tak
biasa Lutfi meminta pada bundanya untuk dibelikan nasi goreng dengan rasa
pedas. “Tak biasanya dia mau makan pedas, lalu dia makan ama adeknya. Saya
memijat teman yang datang ada mau pijat,” terang Eri.
Yasinan tujuh hari Lutfi ,Ayahnya menunjukkan hasil rontgen |
Pukul
10:30 malam saat sang Bunda menelepon ke rumah, Eri pun bertanya pada Lutfi
namun tak menjawab dari kamar. “Saya berdiri melihat kekamar dia sudah pegang
pinggiran tempat tidur muntahnya sudah beserak,” terang Eri.
Ia
pun bersihkan dan mengganti Lutfi, taka da rasa curiga karena Luthfi tak pernah
sakit. Tak terbayang olehnya soal asap yang mengganggu kesehatan anaknya.
Karena taka da sama sekali batuk dan sesak yang dirasakan Luthfi semua biasa
saja, bersekolah, makan, bermain seperti biasa.
Lili
pulang ke rumah usai berjualan di cek nya Luthfi ternyata kencing di celana.
Digantinya celana Luthfi. Usai diganti Luthfi memeluk sang ayah dan menciumi
sang Ayah. “Napa Luthfi bang, mengigau dia,” heran sang Bunda.
Usai
Luthfi tenang tertidur mereka makan malam di dapur, tiba tiba Lutfi merangkak,
dan muntah. “Luthfi napa nak, ngapa ga panggil papa kata saya. Itu muntahnya
air aja, dan dia buang air besar,kami bersihkan dan khawatir dia buang air
besar,” jelas sang Ayah. Ia menghubungi Ibunya dan adiknya untuk menjaga anak
bungsu mereka.
Lutfi
dilarikan ke rumah sakit Pukul 01:00 Wib. Dia sempat menolak tidak mau pergi,
akhirnya dipaksa naik ke sepedamotor. “Tolong angkat Luthfi,” pinta Eri kepada
satpan RS. Santa Maria Pekanbaru yang merupakan kenalannya. Saat itu Luthfi
sedikit kejang dan langsung dilarikan ke UGD.
“Ini
harus dirawat secara intensif Pak,”pinta pihak RS Santa Maria.
“Ya
lakukan aja ,” jawab Eri.
Anak
sulungnya itu pun dimasukkan ke PICU, sebelumnya dilakukan pemeriksaan darah
scan dan rontgen. “Saya ga tahan melihat semua alat dipakai di tubuhnya, dia
hanya panggi Ibun, ibun saat di UGD setelah itu dia sudah tak sadar” cerita
sang Ayah.
Dua
jam monitor jantung tak stabil, dokter mengusahakan segala cara, memompa
jantungnya “Semua dilakukan dokter, usai adzan Subuh dia meninggal,” ujer Eri.Kesedihan
menyelimuti Eri, “Dokter menjelaskan ada gumpalan gumpalan awan di paru paru
anak saya dan penipisan oksigen di jantung.”
Anaknya
sudah tiada, dia harus melunasi tagihan sejumlah RP 4.359.000,00. “Saya hanya
bawa duit 2juta, saya disuruh melunasi dalam waktu tiga hari. Saya tak ada
duit, hari keempat saya kesana ternyata sisanya sudah didiskon Rumah Sakit,
hutang saya lunas,” terangnya.
Kepergian
anaknya tampak sudah mereka ikhlaskan, tak ada airmata yang tampak diwajah
keduanya. “ Kita sudah ikhlas mengiklaskan, orang lebih parah dari kita
ujiannya. Sampai sinilah janjiannya dengan Tuhan. Tidak ikut menggugat
Pemerintah hanya menambah pekerjaan saja nanti. Cuma teman teman ada ikut demo meminta
izin kami membawa foto Luthfi,”jelas Eri dan Lili saling menimpali. Hingga kini
tak ada bantuan dari pemerintah yang mengalir. Hanya ada satu bantuan pribadi
dari Pejabat di Pemda secara pribadi menurut Eri.
“Harapan
kami jangan lagi terulang, cukup Luthfi yang terakhir,” pesan Lili Bunda
Luthfi.
Harapan
dua orang ibu agar pekatnya asap tak merenggut nyawa anak lainnya. Udara yang
kian berbahaya, anak anak yang selalu ingin bermain, orang dewasa yang harus
bekerja di luar rumah pasti akan terus terpapar asap. Tahun ini sudah tiga
bulan Asap tak mereda, hutan terus terbakar. Sudah 18 tahun terus berulang,
ntah sampai kapan berhenti.
No comments:
Post a Comment